30 September 2009

Di Sini, Kita Bukan Serumpun

Si vis pacem, para bellum, jika ingin damai bersiaplah untuk berperang. Buat tim Piala Thomas Indonesia, jika tidak ingin dipermalukan, bersiaplah untuk berperang.

Malaysia akan menjadi tuan rumah putaran final Piala Thomas di Putra Stadium, Bukit Jalil, Mei 2010. Malaysia merupakan juara lima kali Piala Thomas sejak mulai dipertandingkan pada 1949. Terakhir kali mereka menjadi juara saat bertanding di Stadium negara, Kuala Lumpur pada 1992. Tujuh belas tahun bukan waktu yang singkat, tidak heran kalau mereka berhasrat besar untuk menjadi juara tahun depan.

Di final Piala Thomas 1992 tersebut, Malaysia mengalahkan tim Piala Thomas Indonesia 3-2. Pertandingan final tersebut ditandai dengan teror yang dilakukan terhadap tim Piala Thomas mau pun para pendukung asal Indonesia. Teror yang dilakukan baik oleh para penonton dan -terutama- oleh para anggota polisi Malaysia.

Tunggal putera Indonesia, Hermawan Susanto mengenang perlakuan buruk yang diterima tim Piala Thomas Indonesia tersebut. "Dari saat-saat latihan kami merasakan tekanan tersebut. Saat tengah berlatih, lampu tiba-tiba padam, sehingga terkadang kami harus mencari tempat latihan sendiri," kata Aim, panggilan Hermawan.

Hal seruipa juga dirasakan pemain tunggal Alan Budi Kusuma. "Perlakuan berbeda sudah dirasakan sejak kami keluar hotel. Terkadang kami harus menunggu bus jemputan lama sekali. Begitu muncul yang datang bus penjara. Istilah ini mereka berikan sendiri, karena busnya tanpa AC dan memiliki jeruji besi," kata Alan.

Di saat malam final, teror makin meningkat. Para penonton tuan rumah mengusung poster-poster bertuliskan,"Garuda Falls...", sementara para pendukung tim Indonesia yang mayoritas tenaga kerja Indonesia ditempatkan di sudut yang jauh dari timnas Indonesia. "Suara mereka terdengar sayupo-sayup," kata Hermawan.

Menurut hermawan, para pemain sempat terganggu dengan kondisi yang dirasakan para penonton Indonesia. "Kami kasihan juga melihat para pendukung didorong-dorong polisi Malaysia. Kalau mereka dianggap berteriak terlalu keras dan mengganggu, mereka diseret keluar stadion dan digebuki," kata Aim lagi.

Malaysia akhirnya menjadi juara dengan mengalahkan Indonesia 3-2 dengan kunci kekalahan terjadi saat Alan Budi Kusuma dikalahkan Foo Kok Keong. Padahal di atas kertas Alan menang segalanya dari Kok keong. Kekalahan yang menyebabkan manajer tim Indonesia Rudy Hartono marah besar dan menendang botol minuman mineral. "Saya tidak ingin menyalahkan siapa pun. Nyatanya saat itu saya merasa angin memang mengganggu, tapi semua itu memang kesalahan saya," kata Alan, 17 tahun setelah kekalahan tersebut.

Namun hal serupa juga dilakukan para penonton Indonesia apabila menjadi tuan rumah Piala Thomas. Saat Piala Thomas 1994, tim Malaysia melancarkan protes dan menganggap penonton istora Senayan mengganggu para pemain mereka saat jumpa Indonesia di babak final. Tunggal putera Ong Ewe Hock yang tampil di partai tunggal melakukan protes dnegan caranya sendiri dengan membuang-buang bola. Protes malaysia ditolak dan tim Indonesia menang 3-0.

Saat putaran final Piala Thomas dan Uber kembali dilangsungkan di Jakarta pada 2008 lalu, kondisi sudah semakin buruk. Para penonton istora Senayan menghujat para pemain Malaysia, tidak peduli siapa pun lawan yang mereka hadapi.

Di istora Senayan, rasa antipati itu jelas terlihat. Setiapkali tim Malaysia -baik Thomas mau pun Uber- tampil, penonton akan mendukung lawan-lawan mereka. Dukungan bukan hanya dengan tepuk tangan dan sorakan setiapkali bola pasukan Malaysia mati, namun juga dengan cercaan. Para penonton kadang berteriak "maling pulang...maling pulang ..." setiapkali putera-puteri Malaysia tengah berjuang. Sebagian lagi mengejek dengan menyanyikan lagu "rasa Sayange" dengan lirik yang diubah-ubah dengan masih berbau "maling-maling" tadi.

Kubu Malaysia bukannya tidak mendapat dukungan. Puluhan warga dan mahasiswa Malaysia di Indonesia memberi dukungan setiapkali para pemian negaranya bertanding. Mereka mengenakan seragam kuning yang merupakan warna tim-tim olahraga Malaysia. Sementara di belakang mereka terpampang spanduk besar bertuliskan,"Selamat berjuang, wira-wira negara."

Hasilnya tragis, kedua negara gagal di semifinal. Malaysia disingkirkan China di babak semifinal, sementara tuan rumah Indonesia tidak berdaya menghadapi Korea Selatan.

Suasana panas para penonton saat putaran final Piala Thomas 2008 dan (mungkin) 2010 mendatang tidak lepas dari memanasnya hubungan kedua negara beberapa tahun belakangan. Isu -isu politik seperti pemulangan dan penyiksaan TKI, kasus Sipadan-Ligatan, kasus Ambalat, kasus diklaimnya Reog Ponorogo, batik dan kasus terakhir diklaimnya tari pendet membuat sentimen anti-Malaysia memang meningkat.

Tragedi Scheele
Politik konfrontasi yang dikobarkan pada 1963 dipercaya menjadi pemicu persaingan kedua bangsa. Presiden RI saat itu, Ir Soekarno menyatakan tidak setuju terhadap gagasan Perdana menteri Malaya Tunku Abdul Rahman Putera yang ingin mendirikan negara federasi Malaysia. Presiden Soekarno menganggap negara federasi Malaysia hanya menjadi boneka untuk kepentingan Inggris yang ingin menguasai Asia Tenggara.

Konfrontasi menentang pembantukan negara Malaysia berlangusng antara 1963 hingga akhir 1966. Pada kurun 3 tahun tersebut dikembangkan semangat anti pembentukan negara tersebut yang dikenal dengan nama Komando Ganjang (Ganyang) Malaysia. Masa tiga tahun tersebut adalah masa yang penuh propaganda tentang kebusukan negara Malaysia dan terutama pemimpin besar mereka, Tunku Abdul rahman Putera. sebagai gambaran, situasinya lebih gencar daripada penggambaran Malaysia sebagai negara maling kebudayaan seperti yang saat ini terjadi.

Panasnya persaingan Indonesia-Malaysia di arena Piala Thomas mulai dirasa saat perebutan Piala Thomas 1967. Saat itu Indonesia yang merupakan juara bertahan setelah merebutnya di Tokyo pada 1964 bertindak sebagai tuan rumah. Meski kepemimpinan nasional saat ityu sudah berganti, sikap antipati terhadap hal-hal berbau Malaysia masih sangat kental. Di istora Senayan Jakarta, tim Piala Thomas Malaysia yang terdiri dari Tan Aik Huang dkk seperti menghadapi hantu-hantu neraka.

Sebenarnya tim Indonesia sendiri sudah merasa pesimistis untuk menang. Sebelum final menghadapi Malaysia, Pejabat Presiden Jenderal Soeharto bertanya kepada ketua umum PBSI, Padmosoemasto soal peluang Indoensia. "Tampaknya kita sulit menang Pak," kata Padmosoemasto. "Kalau begitu saya tidak akan datang," jawab Soeharto.

Tim Indonesia saat itu memang sangat meragukan. Jenjang antara yang tua dan muda masih terlalu jauh. Para pemain senior seperti Ferry Sonneville dianggap sudah melampaui masa jayanya, namun masih dibutuhkan karena pengalamannya. Sementara pemain-pemain muda seperti Rudy Hartono (Rudy Nio Hap Liang) dan Mulyadi (Ang Tjin Siang) dianggap masih terlalu hijau untuk turnamen sebesar ini.

Benar saja, di hari kedua, tim Indonesia tertinggal 3-4 dengan ganda mereka Ng Boon Bee/Tan Jee Khan di ambang kemenangan atas pasangan Indonesia, Agus Susanto/Muljadi.

Namun para penonton melihat celah harapan melihat ganda Malaysia tiba-tiba kehilangan konsentrasi. Mereka meneror Boon Bee/Jee Khan dengan teriakan-teriakan bernada mengejak bahkan anti Malaysia. Lengkap dengan jargon-jargon anti Malaysia yang merupakan warisan masa konfrontasi 1963-1966. Hasilnya mujarab. Muljadi/Agus Susanto mampu memaksakan permainan rubber-game setelah tertinggal 4-13 di game kedua.

Namun game ketiga tidak pernah dimainkan. Kebrutalan penonton Senayan membuat marah wasit kehormatan IBF, Herbert Scheele. Ia meminta ketua umum PBSI, Padmosoemasto untuk menenangkan penonton, namun permintaannya ditolak. Scheele yang berasal dari Inggris ini lalu menghentikan pertandingan dan hasilnya kita semua tahu, Indonesia kehilangan Piala Thomas setelah dinyatakan kalah 3-6.

Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah "tragedi Scheele." Media massa pada saat itu yang masih bersemangat revolusioner menggunakan istilah-istilah yang membakar kebencian masyarakat. Terlihat seperti dalam tulsian, "Scheele memperlihatkan kesombongan bangsawan Inggris di depan penonton istora. Ia bertolak pinggang dan melambaikan tangannya untuk menaggil seorang pejabat kita, ketua umum PBSI Padmosoemasto."

Lengkaplah kebencian masyarakat bulu tangkis kita kepada Malaysia. Peristiwa Scheele dan situasi 1967 ini kemudian menimbulkan luka dalam hubungan kedua negara di arena Piala Thomas yang tidak tuntas hingga saat ini.

sumber : kompas

Hebat...Indonesia Juara Kompetisi Enterpreneur Internasional di London!

Nama Indonesia kembali berkibar di dunia internasional. Kali ini, prestasi diperoleh setelah menggondol penghargaan tingkat dunia di ajang 'British Council International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Award' di Inggris.

Demikian pengumuman, yang dilaksanakan di festival '100 % Design' di London, Inggris, pada Jumat (25/9) lalu, itu diterima oleh Kompas.com, Selasa (29/9). Prestasi itu disumbangkan oleh arsitek muda Indonesia, Johansen Samsoedin.

Selain berhasil meraih penghargaan khusus 'Wirausahawan Sosial Berprestasi', Johansen juga menjadi juara kedua pada 'IYCE Design Award 2009'. Berkat kemenangan itu, Indonesia masih memegang rekor sebagai satu-satunya negara di dunia yang paling banyak meraih gelar internasional, yaitu sebanyak 5 kali sejak 2006.

Sementara itu, saingan terdekat Indonesia, yaitu India, hanya berhasil meraih 4 penghargaan. Bisa dikatakan, IYCE merupakan gelaran unik di antara penghargaan bidang-bidang kreatif lainnya. Sebabnya, acara ini mengangkat peran wirausahawan di sektor kreatif dan menghubungkan para pelakunya di negara-negara berkembang dengan negara Inggris.

Tercatat, lebih dari 3,000 wirausahawan kreatif dari 47 negara pernah berpartisipasi di ajang ini sejak pertama kali diluncurkan oleh British Council pada 2004 lalu. Namun, khusus penghargaan “Wirausahasan Sosial Berprestasi” baru pertama kali dianugerahkan di ajang IYCE Award 2009.

sumber kompas

17 September 2009

"Laskar Pelangi" Diputar di Festival Film Jepang

Laskar Pelangi, film Indonesia yang meraih banyak penghargaan di dalam negeri maupun di luar negeri, akan menjadi salah satu film yang diputar di Festival Film Internasional Fukuoka 2009, Jepang.

Sutradara film Laskar Pelangi Riri Riza yang dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu, mengatakan, karena dirinya harus menyelesaikan proses pembuatan film kedua Andre Hirata yaitu "Sang Pemimpi" maka dia tidak bisa berangkat ke festival yang dimulai pada 18 September.

"Yang akan hadir mewakili itu Ikranegara (pemeran Pak Harfan) dan Andrea Hirata (penulis novel "Laskar Pelangi`). Besok malam mereka akan berangkat," kata Riri.

Laskar Pelangi yang bercerita mengenai perjuangan 10 anak Belitung untuk bersekolah itu telah diputar di beberapa negara di lima benua.

"Kemarin, Laskar Pelangi baru saja di putar di Harare, Namibia. Sebelumnya pernah diputar di Spanyol, Italia, Hongkong, Singapura, Jerman, lima kota di Amerika, empat kota di Australia dan Portugal," kata sutradara film yang melejit lewat film "Petualangan Sherina".

Ajang film internasional yang memutar "Laskar Pelangi" antara lain di Barcelona Asian Film Festival 2009 di Spanyol, Singapore Internasional Film Festival 2009, 11th Udine Far East Film Festival di Italia, dan Los Angeles Asia Pacific Film Festival 2009 di Amerika Serikat.

Riri mengatakan Laskar Pelangi juga akan diputar di Pusan International Film Festival 2009 pada Oktober mendatang.

Sejak dibuat tahun 2008, "Laskar Pelangi" telah meraih penghargaan internasional antara lain The Golden Butterfly Award untuk kategori film terbaik di Internasional Festival of Films for Children and Young Adults di Hamedan, Iran.

"Laskar Pelangi" masuk nominasi kategori film terbaik di Berlin Internasional Film Festival 2009, pada Asian Film 2009 di Hong Kong, dan editor filmnya yaitu W. Ichwandiardono menjadi nominator untuk kategori editor terbaik.

14 September 2009

Tim Kesenian Indonesia Disambut di Slowakia

Tim Kesenian Indonesia yang dikoordinasi Kedutaan Besar Republik Indonesia Bratislava meraih tempat teristimewa dalam ajang The 16th Dubnica International Folklore Festival Slovakia beberapa waktu lalu. Tim kesenian Indonesia didatangkan dari Universitas Negeri Jakarta.

Mereka menampilkan antara lain Tari Piring Cupak dari Sumatera Barat, dan Tari Giring-giring dari Kalimantan. Bahkan, tim kesenian Indonesia menampilkan paduan tari dan komedi berjudul Reog Dok-Dok dengan menggunakan bahasa Slowakia yang mengundang gelak tawa sangan meriah serta interaksi dari para penonton.

Demikian disampaikan Harsha E Joesoef, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Slowakia, lewat siaran persnya, Senin (14/9). Harsha mengatakan, festival rakyat Slowakia tersebut merupakan kesempatan emas untuk mempromosikan kekayaan dan keragaman budaya Indonesia. Festival tersebut mendapat perhatian besar dari pengunjung.

Dalam festival rakyat Slowakia ke-16 itu, negara-negara lain yang berpartisipasi adalah Georgia, Spanyol, Hongaria, Ceska, dan tuan rumah Republik Slowakia.

KOMPAS.com —

12 September 2009

Putra Indonesia Temukan Senyawa 1,3 Oxaphospholes

Seorang peneliti yang juga dosen senior Universitas Palangkaraya (Unpar), Kalimantan Tengah (Kalteng), Prof Dr Ciptadi berhasil menemukan senyawa kimia baru yaitu senyawa 1,3-oxaphospholes.

Kepala Lembaga Penelitian Unpar tersebut membenarkan ia berhasil menemukan senyawa baru 1,3-oxaphospholes itu, saat diwawancarai di di Palangkaraya, Jumat (11/9).

Dijelaskannya, senyawa 1,3-oxaphospholes yang ditemukannya itu, terindikasi sebagai senyawa yang bermanfaat untuk antibiotik dan pestisida. Senyawa itu dibuat dari unsur phosphorus.

"Saat berada studi di Perancis, saya menemukan 40 senyawa oxaphospholes dan derivat-derivatnya (turunannya)," katanya.

Dari 40 senyawa baru tersebut 30 di antaranya sudah dikirim ke Bayern Jerman, sebuah lembaga farmasi yang ada di jerman. Sementara 10 senyawa baru lainnya masih dikembangkan mahasiswa program doktor (S3) di ENSCM Montapellier II Perancis.

Penemuan senyawa baru olehnya itu diharapkan dapat dipatenkan bersama-sama dengan Prof Dr Cristau, seorang guru besar asal Perancis selaku dosen pembimbing saat melakukan penelitian di laboraorium universitas tersebut.

Berdasarkan keterangan guru besar bidang biokimia/ kimia organik Unpar tersebut, penemuan tersebut cukup membanggakan bangsa Indonesia, karena jarang terdapat mahasiswa Indonesia menemukan senyawa baru di perguruan tinggi itu.

Oleh karena itu, ketika diumumkan penemuan tersebut, Duta Besar Indonesia untuk Perancis ikut menghadiri dan mengucapkan selamat atas penemuan tersebut.

Pengembangan penelitian ini masih terus dilakukan bekerjasama dengan laboratorium kimia organik ENSCM Universite Montpellier II Perancis.

Penemuan senyawa-senyawa baru tersebut sebagian sudah diseminarkan di berbagai negara di Eropa dan Asia seperti perancis, Inggris, Jerman, dan jepang.

"Sebagian juga sudah dipublikasikan pada jurnal internasional, seperti Acta Crystallographica, European Jounal of Organik Chemistry, Journal of Organometallic Chemistry, Phosphorus Sulfur and Silicon," katanya.

Ia menemukan senyawa itu saat ia mengambil program doktor (S3) kimia biomolekul di ENSCM Universite Montapellier II, Perancis.


BNJ
Sumber : Antara

10 September 2009

Puluhan Bus Kuno Karimun Potensial Dorong Sektor Pariwisata

Puluhan bus kuno (bus tua) di Tanjung Balai Karimun, Provinsi Kepulauan Riau merupakan aset berharga yang harus dipertahankan karena potensial dalam mendorong sektor pariwisata di wilayah itu.

"Usia boleh tua, tapi keberadaannya harus tetap dipertahankan agar tidak punah dimakan waktu karena sangat potensial dalam mendorong sektor pariwisata," kata Ketua DPC Organda Karimun, Amirullah di Tanjung Balai Karimun, Rabu.

Menurut Amirullah, salah satu cara mempertahankan bus kuno itu adalah dengan merawat dan meremajakan onderdil atau memodifikasi tanpa merusak nilai-nilai klasik pada mobil era 50-an itu.

"Modifikasi memang terpaksa dilakukan karena onderdil aslinya sudah tidak ditemukan lagi di pasaran," katanya.

Dia mengatakan, saat ini jumlahnya bus tersebut masih lumayan banyak, sekitar 40 unit dan diharapkan terus bertahan untuk memberikan ciri khas bagi daerah itu.

Campur tangan pemerintah sangat penting untuk melestarikannya, karena angkutan itu menjadi pilihan utama wisatawan mancanegara (wisman).

"Lihat saja, ketika ratusan pelajar dari Singapura yang datang beberapa waktu lalu, mereka membutuhkan sekitar sepuluh bus untuk membawa mereka ke tempat-tempat wisata," tuturnya.

Bentuknya yang unit mengundang wisatawan untuk naik bas itu, apalagi mereka tidak menemukannya di daerah asal.

Bus tersebut mempunyai konstruksi yang sangat kuno. Kaca depannya terdiri dari dua jendela dengan bingkai kayu yang bisa dibuka tutup.

Dari jauh, bus ini terkesan memakai kacamata. Jok penumpang bus memanjang ke belakang, dan dinaungi oleh atap dan dinding besi buatan lokal yang mirip kubus.

Dia mengungkapkan, bus kuno itu juga menjadi andalan warga pedesaan untuk datang menyaksikan kegiatan keramaian di pusat kota.

"Jumlah angkot dan taksi boleh banyak, tapi bas kuno tetap eksis karena punya pelanggan sendiri, yaitu karyawan sejumlah perusahaan dan anak-anak sekolah," ujarnya.

Ke depan, lanjut dia, Organda akan mengoptimalkan pemanfaatannya dengan memfokuskan sektor pariwisata meski bakal bermunculan angkutan umum yang lebih modern.

"Pemanfaatan itu baru dapat dilakukan terus menerus jika ada peremajaan dan perawatan sehingga tetap aman dan layak pakai," imbuhnya.

sumber antaranews

Investor Malaysia Tertarik GWK

Para investor dari Malaysia menyatakan tertarik memiliki dan mengelola Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Jimbaran, Bali selatan.

"Investor asal asal negeri Jiran sempat beberapa kali menawar, namun tawaran itu ditolak," kata Gubernur Made Mangku Pastika, pada acara simakrama bersama elemen masyarakat di Wantilan Pusat Pemerintahan (Puspem), Mengwi, Badung, Sabtu (29/8).

Ia mengatakan, tawaran untuk membeli kawasan yang dibangun di atas lahan sekitar 100 hektar itu dua atau tiga tahun lalu, saat berupaya mencari investor guna melanjutkan pembangunan patung GWK.

Namun tawaran tersebut secara tegas ditolaknya, karena GWK merupakan karya bangsa yang monumental juga menjadi patung terbesar di dunia.

Patung dengan tinggi mencapai 75 meter, lebar 60 meter, diperkirakan akan mampu mengalahkan patung liberty di Amerika Serikat.

"GWK akan menjadi karya terbesar kedua setelah 1000 tahun berdirinya Candi Borobudur," ujar Gubernur Pastika.

Gubernur Pastika menjelaskan mahakarya ciptaan seniman Bali I Nyoman Nuarta yang berlokasi di bukit Unggasan, Kabupaten Badung, Bali selatan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.

Untuk kelanjutan pembangunan tersebut diharapkan bisa dilakukan Pemprov Bali dengan mengeluarkan obligasi (surat hutang) yang dapat dibeli oleh masyarakat Pulau Dewata.

"Upaya tersebut tentu akan memberikan kontribusi kepada masyarakat setempat, sekaligus memiliki kawasan yang menjadi salah satu obyek wisata ," ucap Gubernur Pastika.

Solusi pendanaan lainnya, dengan cara menggelar beberapa kegiatan, baik yang berskala nasional maupun internasional di GWK, sehingga dapat memberikan pendanaan bagi pembangunan Bali ke depan.

Gubernur Pastika menjelaskan, semua solusi tersebut masih akan dipelajari sehingga ke depan akan dapat cara pemecahan yang betul-betul mewakili keinginan masyarakat Bali.

"kami akan berupaya agar pembangunan patung GWK dapat secepatnya dilanjutkan, karena akan mampu berpengaruh besar terhadap perkembangan pariwisata Bali," ujarnya.
sumber gatra

Perpustakaan Sumbar Selamatkan Naskah Kuno

Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat berusaha menyelamatkan naskah kuno Minangkabau yang masih berada di tangan masyarakat.

"Kita mengirim tim ke kabupaten/kota di Sumbar untuk mendata dan menyelamatkan naskah-naskah kuno," kata Kepala Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sumbar Eka Nuzla, di Padang, Rabu (9/9).

Dari 150 judul naskah kuno yang berhasil didata, 40 judul di antaranya sudah ada di Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sumbar.

Di antara naskah kuno yang diselamatkan Badan Perpustakaan, yakni Peramalan dan Obat Tradisional Minangkabau, Min Mekkah Ila Mesir, Risal Mau`izat Al-Hasanah, dan Pedoman Umat Islam.

Menurut Eka, naskah-naskah kuno itu dialih media melalui digitalisasi. Kegiatan itu merupakan lanjutan kegiatan tahun 2008.

Pada 2009, kegiatan alih media naskah kuno diarahkan pada upaya mendigitalkan naskah kuno di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Pesisir Selatan.

Di Kabupaten Solok Selatan, kegiatan alih media naskah kuno dilakukan di tiga nagari, yakni Nagari Koto Baru, Nagari Luak Kapau, Bidar Alam.

Naskah kuno yang dialihmediakan di Kabupaten Solok Selatan, di antaranya Tarekat Saman, Kumpulan Doa dan Syair Tarekat, Zikir Tarekat Saman, Ilmu Ajaib dan Halus, dan Ilmu Segala Rahasia yang Ajaib-ajaib.

Eka mengungkapkan, Minangkabau selain dikenal dengan tradisi lisannya yang cukup kuat, juga memiliki tradisi penulisan naskah yang maju. Tradisi penulisan naskah ini sudah berlangsung lama.

Sebagai sebuah tradisi yang berlangsung lama, kata dia, tidak mengherankan jika tradisi pernaskahan di Minangkabau itu telah meninggalkan artefak budaya berupa naskah kuno dengan jumlah yang cukup banyak.

Naskah-naskah tulisan tangan (manuscript) mengandung teks tertulis mengenai berbagai pemikiran, pengetahuan, keislaman, sastra, pengobatan, serta perilaku masyarakat masa lalu.

Eka mengatakan, naskah-naskah kuno masih banyak tersebar di tangan masyarakat dengan kondisi beragam, dari kondisi naskah yang cukup baik (naskah dapat dibaca) hingga naskah dalam kondisi rusak, dengan kerusakan cukup parah.

Menurut dia, faktor kurangnya pengetahuan dan kesadaran pemilik naskah terhadap pentingnya naskah menjadi penyumbang kerusakan naskah.

"Naskah ada yang ditumpuk atau dimasukkan ke dalam karung, dipindahkan jauh dari tempat semula, dijual, atau bahkan ada yang dibuang serta dibakar," katanya.
sumber gatra

Indonesia Juara di Malaysia

Tim Indonesia menjuarai Dwitarung KL Young Talent Chess Challenge 2009 KU-14, yang berlangsung di Petaling Jaya, Malaysia, setelah menundukkan tim PCU Asia 5-4, Selasa malam (8/9).

Indonesia memastikan gelarnya itu setelah mengumpulkan skor total 18 poin, disusul Singapura 16 poin dan PCU Asia 10,5 poin, demikian laporan Humas PB Percasi Kristianus Liem dari Malaysia, Rabu.

Sedangkan di KU10 tahun tim Indonesia tampil lebih meyakinkan lagi dengan menang 6,5-2,5 atas tim PCU Asia. Skor yang sama juga dibuat tim KLCA atas tim Singapura. Secara keseluruhan tim Indonesia menang Dengan total skor 20,5 poin, KLCA 14 poin dan PCU Asia 10 poin.

Berikut ini top skor pada KU14: 1. Lutfi Ali (Indonesia-SCUA Bekasi) 7,5 poin; 2. Joel Chan Cheng Hoong (Singapura) 7 poin; 3. Aziz Farhan (KLCA-Malaysia) 7 poin. Top skor KU10: 1. Mohammad Firmansyah (Indonesia - SCUA Bekasi) 8 poin; 2. Novendra Priasmoro (Indonesia-SCUA Bekasi) 8 poin; 3. Ryan Ow (PCU Asia-Malaysia) 7,5 poin. [TMA, Ant]

sumber gatra

08 September 2009

4 Negara Tetangga Belajar Teknologi Pertanian di Indonesia

Keberhasilan Indonesia menggapai swasembada beras pada 2008 menarik minat sejumlah negara tetangga. Buktinya, tercatat sebanyak 35 petani dan distributor beras dari Vietnam, 30 petani dan distributor Malaysia, Thailand, Singapura dan China, belajar pelatihan penerapan teknologi tepat guna pertanian yang diterapkan Departemen Pertanian (Deptan) RI.

Pelatihan teknologi perilaku benih dan bibit tersebut diberikan PT Syngenta Indonesia, melalui program 'Expo Teknologi' selama empat hari di Cikampek, Karawang, Jabar, sejak Senin 7 September kemarin.

"Petani perlu terus berupaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, termasuk dalam pemakaian pestisida yang benar dan tepat, baik dari segi pemilihan jenis pestisida, ketepatan waktu dan jumlah, cara penggunaan, maupun sasaran yang hendak dikendalikan," ujar Direktur Utama PT Syngenta Indonesia Arshad Saeed Husain di Jakarta, Selasa (8/9/2009).

Arshad mengungkapkan, keberhasilan panen petani sangat ditentukan dari perlakuan sejak awal pertumbuhan suatu tanaman, baik pangan, hortikultura, maupun perkebunan. Pemeliharaan kesehatan (perlindungan hama dan penyakit) tanaman sebaiknya dilakukan sejak dini, yakni mulai dari benih dan pembibitan.

"Benih atau bibit adalah awal dari sebuah kehidupan. Begitu juga bagi tanaman. Keberhasilan panen petani sangat ditentukan dari perlakuan sejak awal pertumbuhan suatu tanaman yang dibudidayakan," jelas dia.

Oleh karenanya, dia menambahkan, pemeliharaan kesehatan (perlindungan hama dan penyakit) tanaman sebaiknya dilakukan sejak awal, yakni mulai dari benih dan pembibitan.

Di samping puluhan petani dari negara tetangga, program pelatihan tersebut juga diikuti 2.000 petani dari sejumlah daerah, di antaranya dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Lampung, termasuk petani binaan Sygenta dari China, Singapura dan Thailand. Komoditas usaha taninya berupa padi, jagung, kacang-kacangan, aneka sayuran dataran rendah, tembakau, dan tanaman hias.

Syngenta Asia Pasifik menganggap Expo Teknologi yang dilakukan Syngenta Indonesia tersebut telah diakui dan ditetapkan sebagai model kegiatan dan standard Expo Teknologi bagi petani di negara-negara Asia Pasifik lainnya. Sehingga tidak heran, tamu-tamu dari berbagai negara berdatangan dan bahkan membawa petani dan distributor dari masing-masing negaranya untuk mempelajari cara-cara aplikasi teknologi perlakuan benih dan bibit tersebut langsung dari sumbernya di Indonesia.(Sudarsono/Koran SI/rhs)

sumber okezone

LIPI Temukan Spesies Baru Anggrek di Papua

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengumumkan penemuan spesies baru anggrek yang diberi nama "Dipodium brevilabium D.Metusala & P.O'Byrne", yaitu bunga yang ditemukan di belantara Papua.

Menurut surat elektronik peneliti LIPI Destario Metusala, yang diterima ANTARA, Selasa, spesies itu ditemukannya bersama dengan peneliti Singapura Peter O`Byrne dalam suatu penelitian sejak awal 2008.

Penemuan yang menjadi bukti bahwa Indonesia masih menyimpan keragaman hayati yang belum terungkap itu, kata Desatrio, telah dipublikasikan di jurnal anggrek internasional (Internasional Orchid Review) di Inggris pada September.

Disebutkan, Genus Dipodium sp memiliki sekitar 25 spesies yang tersebar dari Indo-China hingga Australia dan kepulauan Pasifik Barat.

Genus itu dianggap sulit oleh para taksonom dunia karena memiliki bentuk bunga yang serupa dengan strukur bibir bunga (labellum) yang hampir konsisten. Seperti kerabat Dipodium sp lainnya di Indonesia, anggrek Dipodium brevilabium juga berperawakan menyerupai tumbuhan pandan wangi (Pandanus amaryllifolius), oleh karena itu seringkali masyarakat menyebutnya dengan nama anggrek pandan.

Perbungaan anggrek itu secara total dapat mencapai 35 kuntum, dengan masa mekar total sekitar 15-20 hari. Bunganya yang berdiameter 3,3-3,7 cm itu memiliki warna dasar kuning dengan corak totol berwarna merah kecoklatan.

Anggrek Dipodium brevilabium memiliki karakter morfologi unik yang membedakan dengan spesies Dipodium lainnya, yaitu bibir bunganya yang sangat pendek dengan lobus tengah berbentuk membulat.

Nama "brevilabium" pada spesies ini pun diambil berdasarkan bentuk bibirnya yang pendek.

Dari sisi budidaya, anggrek ini cukup adaptif pada ketinggian 200-700 m dpl, dengan intensitas cahaya 50-70 %.

Yang paling penting diperhatikan adalah pengaturan kelembaban pada media tumbuh serta sirkulasi udaranya, karena anggrek ini sangat rentan oleh serangan jamur yang dapat menyebabkan bercak pada daun hingga busuk pucuk. Anggrek Dipodium brevilabium diperkirakan memiliki area distribusi yang terbatas hanya di Indonesia.

sumber antara

WIKA Kontraktor Pertama Lakukan Proyek di Aljazair

Andina Meryani

PT Wijaya Karya (WIKA) menjadi kontraktor nasional pertama yang melakukan proyek di Aljazair. Wika akan bekerja sama dengan perusahaan kontraktor dari Jepang, Kazima, beserta lima kontaktor lainnya.

Dalam proyek pembangunan jalan sepanjang 400 km senilai USD4 miliar atau sekitar Rp40 triliun, WIKA berperan sebagai subkontraktor untuk pembangunan 44 jembatan dari 64 jembatan dengan nilai kontrak Rp700 miliar - Rp1 triliun.

"Kami sudah dipercaya oleh perusahaan internasional untuk melakukan berbagai pekerjaan dan bahkan kami merupakan kontraktor nasional pertama yang melakukan proyek di Aljazair," ujar Direktur Operasi PT Wijaya Karya Budi Harto, dalam konferensi pers Investor Day 2009, di Gedung BEI, Jakarta, Senin (11/5/2009).

Adapun proyek tersebut akan selesai di akhir tahun ini, namun masih akan ada pekerjaan-pekerjaan tambahan lainnya sebagai upaya pengembangan pasar di luar negeri yang saat ini difokuskan di Aljazair.

"Kita harapkan ada di pasar luar negeri tapi kita masih konservatif karena masih berhati-hati terhadap krisis yang sedang terjadi," ujar Dirut Bintang Perbowo.

Adapun modal kerja (capital expanditure/capex) WIKA normatif sebesar Rp71 miliar untuk peralatan pabrik, kantor, bangunan. Sedangkan untuk capex untuk Rp250 miliar terkait dengan pengembangan aspal buton sebesar Rp45 miliar, pembangunan jalan tol Surabaya-Mojokerto sebesar Rp120 miliar, IPP Tamponas sebesar Rp25 miliar, dan kontraktor tambang sebesar Rp60 miliar.

Sedangkan untuk pembagian dividen, diharapkan tahun ini bisa sama seperti tahun lalu yang sebesar 30 persen.

"RUPS nya kan baru 28 Mei besok, keputusan ada di tangan mereka, usulannya sih semoga bisa sama seperti tahun lalu 30 persen," ujar Direktur Keuangan Wika Ganda Kusuma.(rhs)

sumber : okezone

Indonesia Meriahkan Magnifest di Kota Braunschweig

Indonesia meramaikan penyelenggaraan Magnifest di kota Braunschweig, Jerman yang merupakan kota kembar atau sister city kota Bandung sejak tahun 1960.

Dengan menampilkan tari-tarian dan lagu-lagu daerah, Indonesia merupakan satu-satunya peserta Festival Magnifest ke-36 yang berasal dari luar Jerman di Kota Braunsweig, akhir pekan lalu .

KJRI Hamburg dalam keterangan persnya yang diterima koresponden ANTARA News London, Selasa menyebutkan festival bertema "Kultur im Herzen der Stadt" (Kebudayaan di jantung kota) diikuti seniman berbagai kota di negara bagian Niedersachsen.

Acara digelar di sekitar pusat kota merupakan festival rakyat tahunan diisi dengan berbagai gerai atau stan penjualan makanan, minuman, permainan, kerajinan tangan dan pertunjukan seni budaya dari berbagai daerah di Jerman.

Meskipun hujan gerimis tidak menghalangi penonton menyaksikan penampilan kesenian Indonesia yang tampil pertama pada acara pembukaan yang mendapat sambut meriah pengunjung.

Penampilan Indonesia diawali dengan tari Tempurung dan tari Badinding yang dibawakan Sanggar Seni Ananda dari Brauschweig, yang dilanjutkan dengan tari Jaipong, tari Topeng dan tari Merak oleh Sanggar Seni Margi Budoyo KJRI Hamburg.

Busana daerah yang dikenakan penari dan alunan khas musik tradisional serta gerakan yang mempesona menjadikan tari-tarian tersebut menjadi kombinasi yang unik, yang menarik perhatian pengunjung festival.

Seusai tari-tarian, penampilan dilanjutkan dengan penampilan lagu "Ungaro", dari daerah Batak dan daerah yang dinyanyikan beberapa penari.

Nada dan irama lagu-lagu sangat menarik pengunjung yang turut menari dan mengikuti irama musik membuat para penonton terkesan dengan penampilan dengan spontan berteriak "zugabe-zugabe," (more-more/lagi-lagi " minta agar penari terus bernyanyi).

Pejabat Pemerintah Kota Braunschweig dan panitia penyelenggara sangat menghargai keikutsertaan Indonesia dalam acara tersebut dan mengharapkan pada tahun mendatang juga dapat ikut berpartisipasi.

Pada acara pembukaan Konjen RI Hamburg Teuku Darmawan menyampaikan informasi tentang pariwisata dan seni budaya Indonesia yang memiliki berbagai keanekaragaman dan tempat tujuan wisata menarik wisatawan.

Konjen RI di Hamburg Teuku Darmawan mengatakan acara tersebut merupakan salah satu cara KJRI Hamburg dalam memelihara dan meningkatkan kerja sama sister city Bandung- Braunschweig yang terjalin sejak 1960.

Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai festival seni budaya seperti Magnifest ini, dalam memperkenalkan seni budaya dan pariwisata Indonesia diharapkan akan dapat menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke Indonesia
sumber : antara

Unesco Setujui Batik Warisan Budaya dari Indonesia!

Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membawahi masalah kebudayaan, UNESCO, telah menyetujui batik sebagai warisan budaya tak benda yang dihasilkan oleh Indonesia.

Keberhasilan itu telah dilaporkan oleh Menko Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin.

Menurut Menko Kesra, peresmian batik sebagai warisan budaya tak benda dari UNESCO itu akan diselenggarakan pada suatu rangkaian acara pada 28 September 2009 hingga 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

"Kami telah menerima pemberitahuan dari UNESCO bahwa batik diakui sebagai satu warisan dunia yang dihasilkan dari bangsa Indonesia," ujarnya.

Untuk merayakan keberhasilan itu, lanjut dia, Presiden Yudhoyono mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk mengenakan pakaian batik demi penghargaan terhadap kebudayaan Indonesia tersebut.

"Presiden menyampaikan untuk memelihara itu. Menbudpar sendiri telah memberikan jaminan bahwa batik akan terus dibudayakan di Indonesia," ujarnya.

Warisan budaya tak benda kemanusiaan merupakan satu dari tiga daftar yang dibuat di bawah Konvensi UNESCO 2003 mengenai Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda untuk Kemanusiaan.

Sejak 2008, pemerintah telah melakukan penelitian lapangan dan melibatkan komunitas serta ahli batik di 19 provinsi di Indonesia untuk menominasikan batik sebagai warisan budaya tak benda kemanusiaan dari UNESCO.

Menurut Menko Kesra, UNESCO menilai batik sebagai ikon budaya bangsa yang memiliki keunikan serta simbol dan filosofi yang mendalam mencakup siklus kehidupan manusia.

"Batik bukan hanya dianggap budaya yang berasal dari Indonesia, tetapi diakui sebagai satu representasi dari budaya tak benda dari kemanusiaan," ujarnya.

Sebagai kain tradisional, lanjut dia, batik kaya akan nilai budaya sebagai kerajinan tradisional yang diwarisi secara turun temurun.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan, sejak 2003 kebudayaan Indonesia telah diakui oleh UNESCO dengan diraihnya sertifikat wayang sebagai warisan budaya tak benda dan keris sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia.

Selanjutnya, menurut Jero, pemerintah sedang menominasikan angklung sebagai warisan budaya dari Indonesia.

"Kita terus memperjuangkan satu per satu karya budaya," ujarnya.

07 September 2009

Beliung Masa Neolitikum Ditemukan di Purbalingga

Tim dari Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Disbudpora) Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Senin (7/9), menemukan dua batu beliung persegi yang diperkirakan peninggalan masa Neolitikum.

Batu beliung tersebut ditemukan di Desa Tunjungmulih, Kecamatan Karangmoncol, atau sekitar 700-800 meter arah barat daya lokasi ditemukannya menhir (batu tempat pemujaan, red.) pada Agustus lalu.

"Dengan temuan batu beliung ini, wilayah Tunjungmulih ketika masa prasejarah kemungkinan menjadi daerah pertanian," kata Arkeolog Disbudparpora Purbalingga, Adi Purwanto.

Penemuan batu beliung tersebut, kata dia, berawal dari observasi permukaan di sekitar temuan batu menhir.

Menurut dia, observasi dilakukan pada radius 0-400 meter, 400-800 meter, dan 800-1.000 meter dari lokasi awal temuan menhir.

Dalam radius 700-800 meter arah barat daya temuan menhir, lanjutnya, ditemukan serpihan batu beliung dan selanjutnya dilakukan penggalian sedalam 0,5 meter hingga ditemukan dua buah batu beliung masing-masing berukuran 20x6 sentimeter (cm) dan 15x1,5 cm.

"Temuan batu tersebut saat ini kami simpan di Museum Profesor Soegarda Purbakawatja. Dalam waktu dekat, kami bekerja sama dengan Balai Arkeologi Yogyakarta akan melakukan observasi permukaan lanjutan," katanya.

Sebelumnya, di sekitar lokasi penemuan beliung, telah ditemukan dua buah menhir peninggalan zaman megalitikum. Dua menhir ini sangat simetris dengan mata angin, yakni mengarah tepat utara-selatan dan timur-barat.

Terkait hal itu, Adi Purwanto mengatakan, menhir yang menghadap simetris dengan mata angin juga pernah ditemukan di Kabupaten Limapuluhkota (Sumatera Barat), Pasemah (Sumatera Selatan), dan Toraja (Sulawesi Selatan).

"Hanya saja, menhir di tiga tempat itu ditempatkan berdiri tegak, sedangkan menhir di Karangmoncol diletakkan tertidur," katanya.(*)

sumber : antaranews

ARI MUNANDAR : SATU-SATUNYA EXECUTIVE CHEF ASIA DI EROPA


Koki asal Korea Selatan itu berusia di kisaran 30 tahun dan bekerja di satu hotel di Praha. Suatu hari ia meminta bertemu dengan Ari Munandar, ahli masak kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, yang sekarang memimpin pasukan koki di Hotel Hilton Praque Old Town, Praha, Republik Cek.

Tanpa basa-basi ia mengatakan ingin direkrut dan bekerja di bawah Ari, yang jabatan resminya biasa disebut executive chef atau chef de cuisine. Mengapa? "Karena Anda satu-satunya executive chef dari Asia di Eropa," begitu Ari menirukan ucapan koki Korea Selatan itu kepada dirinya.

Executive chef merupakan jabatan sangat bergengsi, apalagi di jaringan hotel top seperti Hilton. Ari, yang baru berusia 37 tahun, sebelumnya tidak pernah berpikir ia satu-satunya executive chef asal Asia di hotel berbintang lima di Eropa. Tapi, setelah ia coba mencari tahu, ucapan koki Korea itu mungkin benar.

Tidak ada nama Asia—termasuk dari Jepang—yang menjadi executive chef di hotel prestisius di Eropa. "Kecuali di Amsterdam, mungkin," kata Ari. Di Amsterdam, ada beberapa koki top asal Indonesia. Wajar bila Ari menepuk dada. Lebih bangga lagi karena sekitar tiga bulan silam, saat mulai pindah ke Zinc di Hilton Praque Old Town, ia masuk berita di media massa setempat. Sebelum Ari masuk, Hilton memiliki restoran bernama Maze yang dikelola koki top yang bahkan sudah menjadi pesohor di Inggris,

Gordon Ramsay. Tiba-tiba saja Ramsay menarik Maze dari Hilton sehingga mereka meminta Ari pindah
ke tempat mereka. Saat proses perpindahan Ari ke Hilton, tanpa diduga Maze—yang sudah akan ditutup—mendapat bintang Michelin. Anugerah ini penghargaan paling bergengsi dunia bagi sebuah rumah makan. Di Republik Cek, sebelum Maze, hanya ada satu rumah makan yang mendapat bintang Michelin, yakni di Hotel Four Seasons.

Tak mengherankan, media Republik Cek tertarik mendengar kabar ini. "Mereka penasaran," kata Ari, "seperti apa nantinya (restoran di Hilton Praque Old Town di bawah saya)." Publik Praha sesungguhnya tidak terlalu asing dengan Ari. "Saya sudah punya nama di sini," kata Ari. Ketenaran itu ia dapat saat selama tiga
tahun sebelumnya menjadi executive chef di Mandarin Oriental Praha. Jabatan bergengsi di Mandarin Oriental didapat sesaat setelah ia mulai bekerja di sana pada 2006. Saat masuk ke Mandarin Oriental, ia menjadi sous chef de cuisine alias wakil kepala koki. Hanya dua bulan bekerja, executive chef tempat itu mengundurkan diri.

Manajemen Mandarin Oriental berkata kepada Ari, "Kami coba Anda menjadi pejabat executive chef." Ternyata, selama beberapa bulan dicoba, kerja Ari sangat bagus sehingga ia resmi diangkat memimpin dapur hotel itu.

Sebagai pemimpin dapur, Ari kadang memasukkan beberapa resep Indonesia ke menu rumah makan. Apalagi Mandarin Oriental memang berciri Timur sehingga dengan gampang Ari menyisipkan menu Indonesia, seperti mi goreng atau sop buntut.

Saat duduk di bangku sekolah menengah atas di Purwokerto, Ari tidak pernah membayangkan menjadi koki. Kelemahannya di pelajaran, seperti matematika dan kimia, membuatnya memutuskan masuk sekolah pariwisata di Bandung. Lantaran tidak pernah membayangkan bakal menjadi koki—meski ibunya sempat berusaha katering kecil-kecilan di Purwokerto—ia memilih bidang manajemen perhotelan sebagai pilihan pertama dan dapur untuk pilihan kedua. "Ternyata saya diterima di kitchen," katanya.

Selesai kuliah pada 1992, ia langsung magang di Hotel Hilton di London selama setahun dengan sekitar
10 teman. Sepulangnya, ia bekerja di Hotel Hilton di Bali. Saat atasannya memberi tahu ada peluang kerja sebagai koki di Sun City, Afrika Selatan, Ari langsung menyambarnya. Dua tahun di Sun City, kota yang namanya sering dipelesetkan sebagai "Sin City" karena menjadi Las Vegas-nya Afrika, Ari pindah ke Hilton di ibu kota Republik Cek, Praha. Pada 2006, karier Ari naik dengan menjadi orang kedua—dan
kemudian pemimpin—dapur Hotel Mandarin Oriental.

Nasib baik itu tidak datang dengan sendirinya. Ari bekerja keras, tidak puas hanya bekerja sesuai dengan "argo", delapan jam sehari terus pulang. Selain itu, bukan hal yang gampang memimpin dapur sebuah hotel prestisius yang berada di tengah-tengah Eropa. Saat pertama kali memimpin dapur, selama sebulan Ari tidak berbicara. Dia hanya melihat para koki memasak. Ketika hendak memperbaiki cara para kokinya memasak consomme (semacam sup kaldu), ia hanya berkata, "Ayo, kita masak consomme sama-sama." Setelah selesai, ia bertanya, "Bagus mana, consomme buatan kamu atau saya?" Saat kokinya menjawab bahwa buatan Ari lebih bagus, dia langsung menyambar, "Nah, besok kita buat consomme yang seperti ini."

Kepiawaian ini diringkas Ari dalam satu kalimat, "Saya orang Asia, mengajari orang Eropa masak makanan Eropa di Eropa."

LEBIH DI HARGAI DI NEGERI ORANG

Para koki itu ibarat nabi, mereka tak dihargai di negerinya sendiri. Simaklah pengalaman Ari Munandar. Dengan jam terbang sebagai executive chef di hotel prestisius di Praha, Republik Cek, dia pernah melamar posisi top di sebuah hotel di Indonesia. Tapi penolakanlah yang ia terima. Alasannya? Ia bukan orang Eropa. Perlakuan buruk restoran dan hotel di Indonesia terhadap para koki dalam negeri mendorong mereka berdiaspora ke berbagai negara. Noldy Nawiling misalnya. Pemimpin koki di Restoran Kintamani, Hotel Furama Riverfront, Singapura, mengatakan, "Di sini (dalam negeri) kita kurang dihargai."

Hal serupa disampaikan Henry Alexie Bloem, Ketua Umum Indonesian Chef Association. Pengusaha lebih suka melihat ada nama asing sebagai executive chef di hotel-hotel mereka. "Padahal yang masak juga orang Indonesia," kata Henry. Apalagi jika menghidangkan masakan Indonesia. "Mungkinkah bule memasak rendang?" Bekerja di luar negeri mengandung hikmah karena penghasilan mereka ternyata bisa berlipat ganda. Menjadi koki di kapal pesiar, misalnya, kata Henry, digaji Rp 7-8 juta sebulan bersih.

Mereka tidak perlu memikirkan tempat tinggal atau makan. Seluruh gaji bisa ditabung. Di Indonesia, gaji mereka hanya di kisaran Rp 1 juta, dan masih harus memikirkan biaya hidup. Pengalaman bekerja di negeri asing bertambah menarik bagi chef muda seperti Puryono M. Kertoraharjo. Pemuda asli Ponorogo, Jawa Timur, ini baru berusia 23 tahun dan langsung bekerja di Hotel JW Marriott, Kuwait, begitu lulus kuliah. Sekarang dia memasak bagi para pelanggan JW Marriott di Washington, Amerika Serikat.

Puryono tidak membayangkan bisa bekerja di Marriott Washington hanya berselang lima tahun setelah ia menyelesaikan SMA di Ponorogo, Jawa Timur. Saat magang di JW Marriott Surabaya, semasa kuliah di Surabaya Hotel School, ia melihat ada lowongan posisi koki di JW Marriott Kuwait.

Berkat hasil kerja yang memuaskan, hanya tiga tahun di Kuwait, ia dipindahkan ke JW Marriott Washington. Di ibu kota Amerika itu, dia pernah menjadi chef of the month alias koki terbaik bulan itu. Prestasi tersebut diraih, kata Puryono, selain karena disiplin dan cepat belajar, lantaran sering membuat kreasi menu baru.

SUMBER : tempointeraktif
Salah satu menu andalan Puryono adalah treccia di salmone, sesuai dengan kegemarannya memasak makanan Italia. Masakan ikan salmon yang dipotong kepang dan diasap ini tidak bisa langsung disajikan kepada tamu, tapi mesti diperiksa executive chef dan dinilai oleh panel. Setelah melewati saringan itu, barulah masakan Puryono membuat lidah pelanggannya bergoyang.

AZHARI SASTRANEGARA : AHLI BENTURAN DARI MAJENE


Lelaki itu selalu memulai dengan sederhana: bersepeda menuju kantornya, NSK Ltd. Setiap hari, sepanjang tahun, dia mengayuh sepeda selama 15 menit dari rumahnya di House Malonie Nomor 2, Fujisawa-shi, Kanagawa, Jepang Sekilas dia adalah pria kampung Jepang biasa. Nyaris tak ada yang tahu bahwa dia pria penting. Dia adalah salah satu ahli top di Jepang dalam bidang analisis keamanan struktur terhadap benturan.

Di kantornya itu, design engineer berusia 33 tahun ini selalu menghabiskan sebagian harinya di Automotive Bearing Technology Department. “Pulang kantor pukul 18.00, kalau lagi lembur pukul 20.00,” ujar Azhari kepada Tempo melalui surat elektronik pekan lalu.

Doctor of engineering dari Tokyo Institute of Technology, Jepang, itu bergabung dengan produsen bearing dan komponen otomotif tersebut sejak April 2005. Awalnya ia berkarier sebagai research engineer di NSK Research and Development Center. “Tema penelitian saya cukup beragam, berkisar pada analisis struktur dan bahan terhadap benturan,” ujar Azhari.

Salah satu riset pria kelahiran Majene, Sulawesi Barat, itu adalah tentang desain kemudi kendaraan yang aman. Dalam penelitian itu, tugasnya melakukan perhitungan apakah rancangan kemudi yang diajukan oleh bagian desain sudah memenuhi syarat keamanan ketika terjadi tabrakan. Dari aneka penelitian itu, Azhari dan timnya di NSK menghasilkan enam paten yang kini terdaftar di Japan Patent Office.

NSK ternyata juga bukan tempat kerja pertamanya. Sebelumnya, Azhari—yang meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul “Effect of Transverse Impact on Energy Absorption of Column”—sempat menjadi asisten dosen di Tokyo Institute of Technology. Di kampus itu pula Azhari merampungkan pendidikan dari S-1 sampai S-3.

Dia belajar di kampus itu setelah lulus dari SMA Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah, pada 1994. Modalnya: beasiswa Mitsui Bussan Indonesia Scholarship, yang menyeleksi peserta dari pelajar SMA se-Jawa dan Bali. Beasiswa itu cuma untuk menyelesaikan sarjana strata satu. Jadi, saat melanjutkan ke strata dua, “Saya kuliah sambil bekerja paruh waktu,” ujarnya. Pada program S-3, ia kembali mendapatkan beasiswa—kali ini dari Moritani Scholarship dan Tsuji Asia Scholarship.

Setelah memperoleh gelar doktor, Azhari sempat ingin kembali ke Tanah Air. Namun, ia tak mendapatkan tempat untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya. “Jaringan kerja saya juga belum ada,” ujarnya. Dia pun memutuskan menimba ilmu di perusahaan Jepang, yang muatan penelitiannya banyak. Untuk ikut memajukan Indonesia, ia punya cara lain.

Bersama tujuh temannya yang juga pernah mengenyam pendidikan di Jepang, Azhari mendirikan situs Infometrik sekitar tiga bulan lalu. Ketujuh pakar itu adalah Dr Sri Harjanto, pakar bidang metalurgi dan nano-material dari Universitas Indonesia; Dr Syarif Junaedi, pakar bidang material sains dan dosen di International Islamic University Malaysia; Dr Edi Marwanta, peneliti BPPT bidang material polimer; Dr Purwadi Raharjo, peneliti di Nagata Seiko, perusahaan material Jepang; Fuziansyah Bachtar, PhD, peneliti di perusahaan polimer INOAC; Dr Edi Suharyadi, peneliti program postdoc di Nagoya University;
serta Wawan Setiawan, ST, manajer perusahaan manufaktur Jepang di Indonesia.

Ide membuat majalah teknologi online itu bermula dari keinginan mereka memberi sumbangsih dalam perkembangan teknologi Indonesia. “Kami prihatin karena, sejak era Habibie berlalu, sepertinya perhatian pada perkembangan teknologi sangat kurang,” katanya. Bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 10 Agustus lalu, Infometrik diluncurkan.

Melalui Infometrik, para pendirinya ingin menyediakan tempat berbagi pengetahuan mengenai teknik mesin, material, serta manufaktur secara gratis dan mudah. “Kami berusaha menyajikan informasinya secara populer dengan bahasa yang mudah dicerna, tanpa mengurangi muatan ilmiahnya,” ujar Azhari.

Azhari bersyukur keberadaan Infometrik mendapat respons yang baik. Sebelum resmi diluncurkan, pengunjung Infometrik mencapai 200 orang dalam sebulan. Sejumlah pengguna dari kalangan umum, menurut Azhari, menyatakan isinya menarik dan mudah dimengerti meskipun mereka bukan dari bidang teknik mesin atau material.

“Mudah-mudahan situs ini bisa menjadi salah satu media informasi bidang teknologi yang mencerdaskan bangsa,” ujarnya. Walaupun sudah menetap lama di Jepang, kehidupan ayah tiga anak ini memang tak lepas dari Indonesia. Bahkan dua anaknya, yang duduk di kelas V dan kelas II sekolah dasar, saat ini belajar di Tanah Air. Anak Azhari tinggal bersama kakek dan nenek mereka di Pejaten, Jakarta Selatan. Sebelumnya, mereka belajar Kanji dan bahasa Jepang di Negeri Matahari Terbit itu.

Namun, Azhari khawatir mereka akan lupa bahasa dan budaya Indonesia. “Karena itu, saya sekolahkan mereka di Tanah Air,” ujar suami Nesia Andriana ini. Jika rasa kangen terhadap Tanah Air melanda, Azhari akan segera menelepon keluarganya di Indonesia. Selain itu, ia menghadiri acaraacara di Kedutaan Besar Indonesia dan Sekolah Republik Indonesia di Tokyo, seperti bazar, perayaan 17 Agustus, dan pengajian bulan Ramadan. Azhari pun masih suka pulang kampung. “Saya pulang ke Indonesia sekali dalam dua tahun,” ujarnya.

Dia berharap bisa segera kembali ke Tanah Air. “Bagaimanapun hidup di budaya sendiri, memakai bahasa sendiri, bertemu handai taulan dengan segala suka-dukanya jauh lebih menyenangkan dibanding hidup di Jepang,” ujarnya.

sumber : tempointeraktif

FAUZY AMMARI : JEJAK ORANG TERNATE DI JALAN SUTRA

Sudah hampir 10 bulan Fauzy Ammari bergelut di Jalan Sutra. Di jalur utama perdagangan dunia yang menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika 3.000 tahun silam itulah, karier emas Fauzy kini dipertaruhkan. Lelaki kelahiran Ternate, Maluku Utara, 42 tahun silam ini dipercaya menjadi salah seorang konsultan dalam proyek pembangunan jalan di salah satu bagian rute kuno itu di wilayah Uzbekistan.

Proyek prestisius yang dinamakan Proyek Jalan Sutra atawa Silk Road ini membentang 131 kilometer sepanjang rute Guzar-Bukhara- Nukus-Dautata. Pemerintah Presiden Islam Karimov mengucurkan sedikitnya US$ 270 juta atau Rp 2,7 triliun, yang dipinjamnya dari Bank Pembangunan Asia.

Dalam proyek tersebut, Fauzy duduk sebagai penasihat internasional untuk bidang infrastruktur transportasi. Tanggung jawabnya menangani proyek-proyek fasilitas umum dan penyediaan alat-alat berat. Tak tanggung-tanggung, ia pun diminta membentuk departemen transportasi, departemen baru di Uzbekistan.

“Bisnis jalan” sesungguhnya tak jauh-jauh dari awal karier Fauzi. Ketika masih duduk di bangku SMP di Ternate, ia sudah diperkenalkan dengan manajemen bisnis transportasi. Saat itu ia bahkan dipercaya mengelola sebuah mobil angkutan kota milik keluarganya.

Segala tetek-bengek bisnis angkutan menjadi tanggung jawabnya. Mulai teknik mencari penumpang, melayani penumpang, sampai merawat si angkot semata wayang, yang dilakoninya hingga tamat SMA.

Berpuluh tahun kemudian, ribuan mil dari tanah kelahirannya, Fauzy merasakan manfaat dari pendidikan manajemen bisnisnya itu. Mengatur strategi pemenangan proyek, mengelola tim kerja, hingga mengatur rencana kerja seolah hanya mengulang pekerjaan masa kecilnya.

Bedanya, dulu ia hanya mengurus satu mobil, kini ia bertanggung jawab membangun salah satu ruas jalan di Uzbekistan. Jiwa bisnis Fauzy mulai terasah manakala sang ayah, seorang penjual pakaian dan sepatu, mangkat. Saat itu usia Fauzy baru delapan tahun.

Mengerjakan PR dan bergaul sering kali ia lakoni sembari menjaga toko keluarga. Selepas SMA, ia melanjutkan pendidikan di dua universitas sekaligus di Makassar: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin serta Fakultas Teknik Sipil Universitas Muslim Indonesia.

Sempat kedua almamaternya menawarinya posisi sebagai dosen tetap, namun ia tolak. “Saya ingin sekali merasakan tantangan nyata dalam dunia pekerjaan dan bisa merasakan suasana berbeda,” ucap ayah lima anak ini. Fauzy lalu diterima bekerja di Kumagai Gumi Group, perusahaan konstruksi yang menangani proyek dam milik pemerintah di Bili-bili, Sulawesi Selatan.

Jalan kian terbentang buatnya setelah pada Februari 1994 ia berlabuh di Jepang. Kedatangannya ke Negeri Matahari Terbit itu untuk memenuhi undangan pelatihan selama setahun dari Kamar Dagang dan Industri di Toyama Prefecture. Kesempatan itu tak disia-siakannya. Ia bahkan memutuskan tinggal lebih lama sambil melanjutkan pendidikannya.

Setelah berhasil merengkuh gelar master dari Gifu University, Fauzy melanjutkan program doktor di bidang teknik sipil dari universitas yang sama pada 2001. Pada tahun itu pula, ia bergabung dengan Dainichi Consultant, konsultan lokal di sana.

Menjadi konsultan rupanya jawaban atas obsesinya selepas kuliah di Makassar. Itu sebabnya, ia betah berkutat di Dainichi. Selama lebih dari tujuh tahun ia diserahi kewenangan menangani berbagai proyek infrastruktur transportasi. Dari Pakistan hingga Bhutan. Dari Maladewa sampai ke Cina.

Rajin menebar jaring dan banyak berkonsultasi dengan para senior merupakan resep sukses Fauzy menggaet proyek. Perburuan tender proyek lewat Internet pun rajin dilakoninya. Semakin banyak pesaing, ia semakin bergairah.

Tentu saja tak semua proyek yang disasar berhasil digaetnya. Salah satu kendalanya, informasi mengenai negara yang dibidik sangat minim. Ada kalanya proyek yang digarap pun tertunda atau bahkan dibatalkan sepihak oleh klien. Tak jarang pula ada ekspatriat atau konsultan yang kabur ketika proyek akan berjalan.

Di tengah pasang-surut itulah, jejak karier Fauzy terus melaju. Proyek yang digarapnya seakan tak pernah putus. Mulai proyek skala mungil senilai 12 ribu dolar, hingga order ratusan juta dolar seperti di Uzbekistan itu.

Dengan segudang kesibukan itu, mau tak mau ia melompat dari satu negara ke negara lain. Ia pun harus rela tinggal di Jepang berpisah dengan keluarganya di Tanah Air.

Tapi tekadnya sudah bulat. Ia belum akan pulang ke negeri kelahirannya. Salah satu obsesinya kini, yaitu mencari sumber-sumber pendanaan untuk program pengembangan tenaga kerja Indonesia di Jepang, yang bergelut di bisnis skala kecil-menengah yang berbasis teknologi. “Saya ingin membantu mereka menyiapkan diri dengan rencana bisnis yang matang sebelum kembali ke Tanah Air,” ujarnya.

sumber : tempointeraktif

SONJA DAN SHANTI SUNGKONO : SI KEMBAR PENAKLUK BERLIN

Penampilan mereka memukau publik musisi klasik, dari Eropa hingga Amerika. Diganjar pelbagai penghargaan internasional bergengsi.

Suatu hari, di hadapan publik musik klasik Berlin, Jerman, penampilan duo pianis kembar Sonja dan Shanti Sungkono tampak eksotis. Di atas pentas, tubuh kedua perempuan berwajah Jawa ini dibalut kebaya dengan siluet brokat keperakan. Rambut mereka disanggul. Penampilan keduanya jauh dari penampilan panggung para musisi klasik yang konservatif—yang umumnya muncul dengan gaun panjang warna hitam.

Duet Sonja-Shanti tak sedang ingin tampil unik, apalagi nyentrik, dengan gaya tersebut. Model penampilan itu boleh dibilang telah menjadi ciri khas sekaligus identitas mereka sebagai perempuan Indonesia dalam pelbagai pentas di mancanegara. Selain penampilan, dalam setiap pertunjukan, keduanya selalu memperkenalkan diri sebagai duo pianis Indonesia. “Dari penampilan saja kelihatan, kami bukan orang Jerman,” kata keduanya, yang sejak 1991 bermukim di Berlin.

Toh, bukan lantaran penampilan itu yang membuat mereka memukau. Kepiawaian jari-jari mereka menari di atas tuts pianolah yang dikagumi penikmat musik klasik, baik di Jerman maupun di kota-kota besar lain di mancanegara.
Bahkan permainan Sonja-Shanti telah mencuri perhatian para musisi dan kritikus musik klasik Eropa. Di Jerman, penampilan mereka dipuji sebagai, “Benar-benar pertunjukan yang indah, mengagumkan, dan profesional.”

Prestasi mereka pun patut dibanggakan. Mereka meraih Jerry Coppola Prize dalam lomba duet piano di Miami, Amerika Serikat, pada 1999. Dua tahun berturutturut, 2001 dan 2002, mereka menyabet Prize Winners Juergen Sellheim Foundation di Hannover, Jerman. Lalu pada 2002 menjadi juara ketiga Torneo Internazionale di Musica di Italia. Terakhir, mereka menggondol Prize Winners pada National Piano Duo Competition di Saarbrucken, Jerman, pada 2003.

Album pertama mereka, Works for Two Pianos, dirilis pada 2002. Dua tahun berselang, Sonja-Shanti menelurkan album kedua bertajuk 20th Century Piano Duets Collection. Kedua album berformat CD itu di bawah label NCA Jerman. Peredaran album kedua lebih luas dari yang pertama.

Selain di Jerman, album tersebut beredar di Prancis, Italia, Austria, Swedia, Jepang, dan Amerika. Kedua album itu juga mendapat apresiasi yang cukup antusias dari sejumlah media musik klasik di Eropa. Selain itu, kedua album tersebut masuk arsip Perpustakaan Musik Naxos—produser musik klasik dunia yang menyimpan sekitar 36 ribu album.

Lahir di Jakarta, 3 Januari 1972, Sonja-Shanti terbang ke Jerman saat negeri itu tengah dikepung musim dingin pada 1991. Awalnya, mereka hanya ingin menengok kakaknya, dan belajar bahasa Jerman. Tapi bakat seni yang mengalir dari orang tuanya (ibunya seorang pianis dan bapaknya pencinta musik klasik) kemudian menggiring mereka masuk jurusan musik di Hochschule der Kunste, Berlin. Belajar bahasa yang telah mereka jalani sekitar tiga tahun pun ditinggalkan.

Rupanya pilihan mereka tak meleset. Di bawah bimbingan Profesor Sorin Enachescu, talentapermainan piano kian terasah. Semasa kuliah, Sonja-Shanti sempat membentuk chamber music dengan mahasiswa lainnya. Tapi mereka tak berhasil. Akhirnya mereka memohon kepada Profesor Enachescu untuk menempuh ujian diploma piano duo.

Profesor keturunan Rumania itu mengabulkan dan kemudian menguji mereka. Padahal ujian seperti ini tak pernah ada sebelumnya. Dalam ujian tersebut, duet Sonja-Shanti menyuguhkan permainan Searamousche—sebuah komposisi piano klasik karya Darius Milhaud—sepanjang sekitar 15 menit. Sang guru besar terpesona oleh permainan mereka yang memikat. Predikat sehr gut (sangat bagus) diperoleh mereka.

Momentum itulah yang dijadikan langkah awal duet pianis Sonja-Shanti. Sejak itu, mereka mulai menapaki karier sebagai duo pianis. Tentu saja bukan tanpa rintangan. Pada awal-awal karier, mereka beberapa kali harus pindah apartemen karena tetangganya terusik oleh denting piano ketika mereka berlatih. Dari teror sampai dilaporkan ke polisi segala pernah dialami mereka.

Setelah sekitar tiga bulan gapah-gopoh mencari tempat yang cocok, akhirnya mereka menemukan sebuah apartemen yang pas di kawasan Neukoeln. Apartemen itu terdiri atas dua lantai, bagian atas dipakai sebagai tempat tinggal dan ruang bagian bawah yang kedap suara dijadikan tempat latihan mereka. Kebetulan pemilik sebelumnya seorang musisi.

Bermodal dua grand piano, mereka terus mengasah talenta di ruang bawah apartemen tersebut. Penampilan mereka yang memukau menarik minat sejumlah kalangan, termasuk almamaternya, yang kini bernama Berlin University of the Arts. Waktu terus bergulir, nama mereka mulai menjadi pembicaraan di kalangan penikmat dan musisi klasik Jerman.

Undangan untuk pentas pun kemudian membanjiri mereka. Sonja-Shanti kian yakin atas langkah mereka setelah penampilan duet piano di sejumlah kota besar Eropa—seperti Berlin, Hamburg, Warsawa, Venesia, dan Paris—mencatatkan sukses besar. Boleh dibilang, kelebihan mereka dibandingkan dengan duet-duet pianis Jerman yang sudah lama berkiprah adalah mereka lahir kembar, hubungan batin keduanya terasa lebih kuat.

“Jadi, kalau di panggung saya berbuat kesalahan, Shanti akan cepat bereaksi, sehingga malah terdengar seperti ada kling yang baru,” tutur Sonja kepada Tempo. Kini jadwal penampilan duet mereka setiap tahun diumumkan Arsip Konser Laurent Mettraum—yang bertanggung jawab membuat daftar pertunjukan para musisi berbakat dari seluruh dunia di Internet. Dalam daftar itu tertera jadwal mereka akan tampil bareng pada sebuah pertunjukan dengan duet pianis terkenal dari Swiss: Dominique Derron dan Pius Urech.

Sonja-Shanti acap kali membawakan karya-karya komposer musik klasik dunia, seperti Mozart, Bach, Tchaikovsky, Schubert, dan Debussy. Kadang duet ini juga mendetingkan gubahan Colin Mc Phee yang terpesona oleh keindahan Pulau Dewata: Balinese Ceremonial Music. Dentingan gamelan khas Bali terdengar amat merdu di atas tuts-tuts piano.

“Sebetulnya kami ingin bekerja sama dengan musisi Indonesia, seperti Adi M.S. Tapi kami sering terbentur pada soal hak cipta. Di Jerman, hak cipta amat ketat,” ujar Sonja. “”Padahal kami ingin membawa musik Indonesia ke pentas dunia.”

Sehari-hari mereka mengajar piano. Sonja mengajar piano di sebuah sekolah musik di Berlin. Adapun Shanti mengajar les privat piano. Keduanya juga telah berumah tangga. Sonja, yang tengah hamil delapan bulan, menikah dengan seorang arsitek asal Jerman. Adapun kembarannya, Shanti, bersuami musisi rock asal Inggris dan dikaruniai seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Meski telah menikah, keduanya tak menyandang nama suami di belakang nama mereka.

Menurut mereka, untuk penampilan profesional, mereka merasa tetap afdol dengan nama Indonesia. Meski kepiawaian duet pianis ini telah berhasil melambungkan Jerman di belantika musik klasik internasional, mereka berkukuh akan tetap mempertahankan status kewarganegaraannya. “Kami cinta Indonesia, buat apa melepas kewarganegaraan?” kata mereka.

Mereka belum tahu sampai kapan akan tinggal di Jerman. Apalagi anak-anak mereka lahir pula di Jerman. “Tapi keinginan pulang ke Indonesia tak pernah padam. “Aduh gimana ya, walaupun saya bisa makan masakan Jerman, lidah saya tetap cinta gado-gado,” kata perempuan yang bercita-cita mendirikan sekolah musik di Jakarta ini terbahak.

DARI MELATI SAMPAI ANANDA

Pepatah lama “daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri” tampaknya tak berlaku bagi art performer Melati Suryodarmo. Sejak 15 tahun silam, perempuan 40 tahun ini memilih bermukim di Jerman.
Awalnya Melati terbang ke Jerman untuk belajar seni di Hochschule fuer Bildende Kuenste (HFBK), sebuah institut seni rupa di Braunschweig. Setelah menggondol gelar master seni, sarjana ilmu politik dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, ia malah tak balik lagi ke Indonesia. Ia memutuskan berkiprah di Jerman.

Baru-baru ini, Tempo menengok pertunjukannya: Exergy. Mengenakan rok mini hitam, sepatu hak tinggi, Melati meliuk-liuk sambil menapak di atas sebaran 20 batang mentega. Ia limbung, lalu terpelanting, tapi terus bangkit, tak peduli pada licin. “Butter adalah simbol licinnya hidup. Saya tak tahu kapan akan jatuh, tapi harus berupaya tetap berdiri,” kata Melati. Hidup Melati memang selicin mentega di Exergy. Ayahnya, Suprapto Suryodarmo (seniman senior Solo, Jawa Tengah), berkeberatan bila si sulung mengikuti jejaknya. “Tahu sendirilah nasib seniman di Indonesia.” Melati patuh, lalu ia kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung, tempat ia bertemu dengan pria Jerman, yang kemudian memboyongnya ke sana. Pernikahan itu lalu bubar, tapi membuka lembar hidup baru bagi Melati.

Melati mendaftar ke HFBK, dan menjadi murid Anzu Furukawa, pakar butoh. Ia juga belajar kepada Marina Abramovic, yang dikenal sebagai dewi performing art. Marina mengapresiasi bakat Melati, dan mengangkatnya sebagai asisten selama empat tahun. Melati dengan mudah memperoleh tawaran kerja dari pemilik galeri dan kurator. “Itulah
enaknya jadi murid Marina,” ujarnya. Melati sudah menggelar pertunjukan di berbagai negara. Kota-kota besar di
seantero Eropa telah ia jelajahi, juga berbagai kota di Asia, hingga ke ibu kota seni kontemporer, New York. Di sana ia diundang sebagai warga kehormatan sebagai penghargaan atas debut-debut seninya di kancah dunia.

Kontraknya tak pernah putus sepanjang tahun. Jangan heran jika suatu ketika menelepon wanita bertubuh sintal ini Anda cuma dijawab orang di rumahnya: “Oh, Melati sedang di Korea. Baru kembali dua minggu lagi.” Dan ketika ditelepon dua pekan kemudian ternyata Melati sudah berangkat lagi ke Thailand. Begitulah yang dialami Tempo suatu hari.

Hingga Agustus tahun ini saja, Melati sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk turnya ke pelbagai negara, dari Brussel sampai Korea Selatan. Dengan jadwal sepadat itu, praktis setahun cuma beberapa bulan saja Melati bisa berkumpul dengan keluarganya di Jerman. Dalam karya-karyanya, Melati banyak bermain dengan simbol. Pada The Promise, ia membawa cemara dan hati sapi segar 6 kilogram. Di Museum Van Gogh, Amsterdam, Belanda, ia hanya duduk mematung 10 jam di atas kursi yang ditempelkan pada tembok setinggi 2,5 meter dari lantai, memegang bola hitam sebagai simbol bola kematian.

Sebagai artist performer, nama Melati sangat terkenal di kalangan seniman Jerman. Bakat seninya memang tumbuh dan berkembang di sini. Semua kontrak pertunjukan yang datang dari seluruh dunia pun dilayangkan ke rumahnya di Gross Gleidingen, Peine, di wilayah utara Jerman. Ya, meski kiprahnya telah mendunia, nama Melati nyaris tak terdengar di sini. Di Jerman, selain si kembar pianis Sonja-Shanti Sungkono dan Melati, masih ada sejumlah seniman Indonesia lain yang berprestasi. Sebut Christian Lesmana, yang kini bermukim di Braunschweig,
Jerman. Pria asal Bandung ini adalah desainer mobil untuk Volkswagen.

Sebagai desainer industri, dia ikut membuat VW Phaeton, sedan mewah 4-wheel-drive yang diproduksi sejak 2002.
Pada Frankfurt Motor Show 2007, dipamerkan sebuah konsep mobil, Volkswagen Up!. Chris ikut mendesain city car dua pintu itu. Namanya terdaftar di paten-paten berbagai produk desain VW. Keluar dari Jerman, menuju Prancis, kita mengenal Anggun Cipta Sasmi, 35 tahun. Dia mulai menyanyi pada usia 12 tahun. Ia sukses sebagai rocker belia Indonesia dengan delapan album pada 1986-1994. Anggun lalu terbang ke London, Inggris. Setahun di sana, ia pindah ke Paris, Prancis.

Ia lalu bertemu dengan produser Erick Benzi. Pada 1997, album Anggun, Au Nom de la Lune, beredar di Prancis. Itu disusul album Snow on the Sahara (1998), yang menjadi debut internasional Anggun. Dia menjadi penyanyi Asia pertama yang masuk ke kancah musik dunia. Kini ia punya lima album Prancis dan delapan album berbahasa Inggris. Menuju Spanyol, ada Ananda Sukarlan, 41 tahun. Dia mendapatkan gelar master dari Fakultas Piano Koninklijk Conservatorium, Den Haag, Belanda.

Setelah itu, kariernya melambung. Ia memperoleh berbagai penghargaan, dan menggelar konser di gedung-gedung ternama Eropa. Namanya tertoreh di Guinness Book of Record setelah memperdanakan 38 karya baru dalam Festival
Musik Modern 1995 di Spanyol, tempat ia kini bermukim. Komposer kelas dunia mengakui kehebatan Ananda.

Sebagaimana Anggun, Ananda masih kerap pulang untuk mengerjakan berbagai proyek, juga mempromosikan bakat-bakat cilik, seperti di gelaran Pianississimo pada Januari lalu di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kenapa berkarier di luar? “Kalau di luar negeri, saya lebih berguna buat orang Indonesia. Saya memainkan karya komponis Indonesia di sana,” katanya suatu hari.

Dr Nurul Taufiqu Rochman, MEng : MENDANAI RISET DARI BISNIS SERABUTAN

Demi menambal biaya penelitian, para ilmuwan kita di sini harus jungkir balik. Ada yang patungan menyewakan lapangan futsal.

Berbongkah batu alam tergeletak di dalam kardus di ruangan yang tak terlalu luas itu. Serbuk silika berwarna kuning, pasir besi, beberapa alat pemotong besi, dan pemisah magnet tampak berserakan di lantai berlapis kayu.

“Beginilah kalau sedang bekerja, berantakan,” ujar Dr Nurul Taufiqu Rochman, MEng, Jumat malam lalu. Di ruang berukuran 5 x 8 meter itulah peneliti fisika di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspiptek Serpong, Tangerang, ini melakukan riset teknologi nano.

Ruangan yang terletak di lantai dua Pusat Penelitian Fisika LIPI itu nyaris seperti kapal pecah. Sejumlah diktat dan proposal berserakan di atas meja. Beberapa unit komputer serta alat-alat eksperimen rakitan Nurul dan delapan stafnya juga belum dibereskan.

Malam itu, pria lulusan Kagoshima University, Jepang, ini menunjukkan kehebatan pemisah magnet temuannya. Nurul tak perlu terbang jauh ke luar negeri untuk membeli komponen alat itu karena tersedia di Glodok, Jakarta Barat. Nurul memasukkan sejumput pasir besi ke alat tersebut. Setelah diputar, pasir yang mengandung besi oksida turun dan yang tak mengandung besi oksida menempel pada lempengan karet yang melengkung ke bawah.

Dari serbuk pasir yang telah dinanokan itu bisa dibentuk batangan besi dan tabung besi. Menurut Nurul, pasir besi sangat mudah dicari. “Sekilo paling cuma Rp 250. Kalau sudah dinanokan, bisa mencapai Rp 1 juta. Ini peluang bisnis untuk mengolah kekayaan alam Indonesia,” ujarnya.

Teknologi nano yang sederhana dan pengolahan yang tak rumit membuat pasir besi selanjutnya bisa diolah menjadi tinta printer seharga Rp 250 ribu. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah itulah yang membuat Nurul pulang kampung setelah 15 tahun kuliah dan bekerja di Negeri Sakura. Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 5 Agustus 1970, itu menyelesaikan S1 sampai S3 teknik mesin di Kagoshima University atas biaya Habibie Center.

“Saya gemes banget. Apa yang mungkin orang lain tidak lakukan, saya bisa kerjakan. Makanya saya ingin di bengkel ini mestinya juga lahir Apollo berteknologi nano,” katanya seraya menunjuk sejumlah mesin.

Peraih Ganesha Widya Jasa Adiutama Award dari Institut Teknologi Bandung pada 2009 itu bersemangat menciptakan alat-alat baru berteknologi nano yang belum ada di dunia dari kekayaan alam Indonesia.

“Di tangan saya dan tim, alat semacam ini harganya cuma Rp 5 sampai Rp 20 juta.” ujar Nurul sembari memperlihatkan milling gerak elips 3 dimensi yang difungsikan sebagai penghancur partikel nano.

Tak ada alat penyejuk ruangan. Untuk menghindari terpaan sinar matahari, bagian depan bangunan ditutup dengan kerai bambu. Karena keterbatasan fasilitas, ia kerap harus menyewa laboratorium untuk penelitian karena ada bagian dari penelitian yang mesti memanfaatkan reaktor nuklir.

Arief belajar bioteknologi dari S-1 hingga S-3 di jurusan bioteknologi, Fakultas Teknik , Tokyo University of Agriculture and Technology, Tokyo, Jepang, mulai 1991 sampai 2000. Selama kuliah di Jepang, indeks prestasi kumulatifnya (IPK) memuaskan, yakni 3,54 (S-1), 3,89 (S-2), dan 4,00 (S-3). Dengan prestasi akademiknya itu, ia mendapatkan beasiswa dari berbagai lembaga, yakni Kementerian Riset dan Teknologi (S-1), Iwaki Glass Jepang (S-2), serta Ultizyme International Jepang dan Menteri Riset dan Teknologi (S-3).

Setelah lulus S-3 pada 2000, Arief menjadi research associate di School of Materials Science, Japan Advanced Institute of Science and Technology, Ishikawa. Namun, ia memutuskan pulang karena ingin mengembangkan ilmu bioteknologi-rekayasa protein yang masih sangat jarang di Indonesia pada 2002. Ia memilih bekerja di LIPI.

Selama di Indonesia, pria kelahiran Lahat, Sumatera Utara, 12 Mei 1971, itu sempat menjadi peneliti tamu di perusahaan bioteknologi enzim, Ultizyme International, Tokyo, pada 2004. Tiga tahun kemudian, ia menjadi peneliti tamu di Fraunhofer Institute for Molecular Biology and Applied Ecology, Aachen, Jerman.

Dengan latar belakang pendidikan dan profesi cemerlang, ia menggaet sejumlah penghargaan, di antaranya Peneliti Muda Indonesia Terbaik Bidang Ilmu Pengetahuan, Teknik, dan Rekayasa dari LIPI (2002); Satya Lencana Karya Satya 10 Tahun dari Presiden RI (2003); serta Technopreneur Award dari Fraunhofer Society dan German Academic Exchange Service, Jerman (2007). “Hadiah dari penghargaan-penghargaan itu saya tabung untuk mendanai riset sekarang,” kata Arief, yang tak menyesal pulang kampung.

Di Indonesia, Arief bisa melakukan penelitian sendiri. Obyek penelitian melimpah. Sayangnya, orang Indonesia kurang menghargai keahlian seseorang. Menurut dia, prestasi internasional tak menjamin seseorang bisa mendapatkan dana penelitian sehingga tak mendorong peneliti berprestasi yang sebenarnya.

“Sering kali dana penelitian diberikan karena faktor kedekatan dengan penilai.” Untuk mendanai risetnya, ia membantu penelitian di perguruan tinggi, menjadi konsultan pendidikan dan penelitian di perguruan tinggi serta lembaga penelitian. “Jadi tidak ada perasaan gengsi,” kata Arief, yang ingin kembali ke Jepang untuk menyegarkan pengetahuan dan keahlian terbaru.

Pada 2002-2007, Arief meneliti molecular farming produksi protein rekombinan untuk farmasi, terutama tembakau dan tanaman kantong semar. Selama periode ini, ia mendapatkan dana penelitian dari pemerintah lewat LIPI dan Menteri Riset dan Teknologi. Sejak 2007, ia meneliti nano-bioteknologi pada virus demam berdarah untuk pengembangan vaksin dan obat demam berdarah. Salah satu penelitian didanai perusahaan bioteknologi Australia dan sudah dipresentasikan di Brisbane, Australia.

Ia melanjutkan penelitian itu dengan mengajukan proposal ke LIPI dan Menteri Riset dan Teknologi, tapi ditolak. Ia pun mendanai riset dari kocek sendiri dibantu fasilitas dan peneliti dari Litbang Departemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Batan.

“Alhamdulillah, bulan Agustus 2009 ini hasilnya mendapat perhatian dunia dan diundang untuk presentasi di Sydney, Australia.” Tak mudah bagi Arief untuk menjalankan risetnya. Karena keterbatasan dukungan fasilitas laboratorium, ia melakukan penelitian di tempat lain dengan meninggalkan jam kerja. “Terancam sanksi disiplin kehadiran fisik di kantor yang minim, walaupun hasil penelitian tetap dipublikasikan dengan nama LIPI. Dilakukan di luar kantor karena di dalam kantor tidak ada pekerjaan. (Proposal) dana ditolak,” kata Arief, yang sangat yakin Indonesia memiliki potensi besar di bidang biomolekuler.

Dibanding ruangan Arief, ruang tempat Gunawan Setyo Prabowo— seorang peneliti satelit—lebih representatif. Bangunan berlantai dua di lingkungan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) di Jalan Cagak Satelit, Rancabungur, Kabupaten Bogor, itu terdiri atas empat ruangan. “Yang ini ruang steril, harus bebas dari debu,” kata Gunawan menunjukkan salah satu ruangan di lantai dua.

Setiap ruangan rata-rata berukuran 6 x 7 meter. Sejumlah penghargaan dan poster desain satelit yang tengah dirakitnya menghiasi dinding ruangan laboratorium. Master dalam bidang teknik elektro dari Universitas Indonesia pada 2002 itu juga harus menghadapi kendala dalam penelitian, seperti sumber daya manusia Indonesia belum siap bekerja dengan sistem yang baik serta lemahnya dukungan infrastruktur. “Metode, peralatan, penghargaan yang kurang, koordinasi, dan banyak hal,” kata pria yang menyelesaikan S-1 jurusan fisika di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.

Untuk menekan biaya riset, pria kelahiran Wonosobo, 24 Juli 1967, ini bersama timnya mencoba membuat alat sendiri, tapi belum pernah diuji terbang. “Dengan melakukan proses produksi sendiri, biaya menjadi sangat murah,” kata Gunawan, yang menjabat Kepala Bidang Instrumentasi Wahana Dirgantara Lapan sejak April 2009.

sumber : tempointeraktif

Dr Warsito P. Taruno : AKU PULANG, AKU BERJUANG, AKU MENANG

Belasan tahun belajar di luar negeri. Tanpa bantuan pemerintah, penelitian mereka berhasil di Tanah Air.

Robot itu bernama Sona CT x001. Di sebuah jendela ruko di perumahan Modernland, Tangerang, robot yang dibekali dua lengan itu sedang memindai tabung gas sepanjang 2 meter. Di bagian atas robot, layar laptop menampilkan grafik hasil pemindaian. Selasa dua pekan lalu itu, Sona—buatan Ctech Labs (Center for Tomography Research Laboratory) Edwar Technology—sedang diuji coba. Alat ini sudah dipesan PT Citra Nusa Gemilang, pemasok tabung gas bagi bus Transjakarta. “Di dalam ruko tidak ada tempat lagi untuk menyimpan Sona dan udaranya panas,” kata Dr Warsito P. Taruno, pendiri dan pemilik Edwar Technology.

Sona harus berada di ruangan yang suhunya di bawah 40 derajat Celsius. Perusahaan migas Petronas, kata Warsito, tertarik kepada alat buatannya. Kini mereka masih dalam tahap negosiasi harga dengan perusahaan raksasa milik pemerintah Malaysia tersebut. Selain Sona, Edwar Technology mendapat pesanan dari Departemen Energi Amerika Serikat. Nilai pesanan lumayan besar, US$ 1 juta atau sekitar Rp 10 miliar.

Bahkan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pun memakai teknologi pemindai atau Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) temuan Warsito. Lembaga ini mengembangkan sistem pemindai komponen dielektrik seperti embun yang menempel di dinding luar pesawat ulang-alik yang terbuat dari bahan keramik. Zat seperti itu bisa mengakibatkan kerusakan parah pada saat peluncuran karena perubahan suhu dan tekanan tinggi.

ECVT adalah satu-satunya teknologi yang mampu melakukan pemindaian dari dalam dinding ke luar dinding seperti pada pesawat ulang-alik. Teknologi ECVT bermula dari tugas akhir Warsito ketika menjadi mahasiswa S-1 di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia, Universitas Shizuoka, Jepang, tahun 1991. Ketika itu pria kelahiran Solo pada 1967 ini ingin membuat teknologi yang mampu “melihat” tembus dinding reaktor yang terbuat dari baja atau obyek yang opaque (tak tembus cahaya). Dia lantas melakukan riset di Laboratorium of Molecular Transport di bawah bimbingan Profesor Shigeo Uchida.

Warsito mengakui teknologi yangkemudian disebut tomografi kedengarannya seperti dongeng fiksi ilmiah. “Tapi, karena tantangan itu riil, saya merasa terpacu menghadapinya secara riil juga,” katanya. Warsito kemudian meneruskan S-2 mengambil jurusan teknik kimia, berlanjut ke S-3 jurusan teknik elektronika di Universitas Shizuoka. Tesis dan disertasinya tetap mengenai teknologi tomografi.

Hounsfield dan Cormack memang yang pertama kali mengembangkan teknologi ini. Namun, basisnya sinar-X. Pada 1979, kedua ilmuwan ini mendapatkan Hadiah Nobel untuk Bidang Kedokteran. Temuan Warsito lebih canggih lagi karena basisnya dengan gelombang suara. Alhasil, tingkah laku zat cair, gas, dan padat di dalam reaktor tertutup yang tadinya tidak bisa dilihat dengan mata menjadi “kelihatan”. Teknologi ini, kata Warsito, boleh disebut tahap lanjut dari teknologi kelelawar, yang mampu “melihat dalam gelap” secara satu dimensi.

Profesor Liang Shih Fan dari Ohio State University, Amerika Serikat, mengajak Warsito mengikuti program pasca doktoral pada 1999. Dia menerima tawaran itu. Maklum, tidak ada lembaga di Jepang yang bersedia menampungnya. Situasi Indonesia yang ketika itu kacau-balau mempengaruhinya untuk tidak kembali ke Tanah Air.

Dia berhasil mengembangkan tomografi kapasitansi listrik berbasis medan listrik statis. Metode yang mengkombinasikan cara kerja otak manusia dan teori probabilitas ini dipatenkan di Amerika pada 2003. Paper yang menjelaskannya dimuat di jurnal Measurement Science and Technology.

Pada 2001, artikel ini menjadi paper yang paling banyak diakses di penerbitan online oleh Institute of Physics (London). Liang Shih Fan, ahli di bidang teknologi partikel, perminyakan, dan energi, kemudian menantangnya membuat teknologi “melihat tembus” ruang 4 dimensi. Hingga pertengahan 2003, Warsito tidak menemukan jawabannya.

Dia sempat frustrasi dan kembali ke Indonesia untuk memperpanjang visa. Keinginan mendidik anaknya di Tanah Air menjadi salah satu alasan dia tidak memperpanjang kontrak dengan Ohio State University. Namun, Warsito tetap melanjutkan risetnya dari sebuah ruko sewaan di Tangerang. Dia menjual mobil satu-satunya untuk membeli perlengkapan komputer dan Internet serta membuat warnet di lantai bawah ruko. Usaha yang dikelola istri dan adiknya ini untuk menutupi biaya operasional. Upayanya berhasil untuk “melihat tembus secara 4 dimensi”. Pada 2005, IEEE Sensors Journal memuat artikelnya berjudul “Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT)”. Sejak itu, teknologi ini menghiasi sesi plenary lecture di hampir seluruh konferensi ternama di dunia di bidang proses kimia, fluidisasi, mekanika fluida multifasa, energi, teknologi partikel, dan tomografi industri.

Di antaranya Kongres Dunia Tomografi Proses Industri, Aizu, Jepang (2005); Kongres Dunia Teknik Kimia dan Kongres Dunia Teknologi Partikel di Florida (2006); serta Pertemuan Tokoh 100 Tahun Ilmuwan Teknik Kimia yang Paling Berpengaruh di Abad ke-20 di Philadelphia (2008).

Aplikasi dari temuan Warsito sejatinya dapat diterapkan untuk sektor kesehatan (alat-alat kesehatan), geofisik, NDT (uji tanpa rusak), dan proses industri. Sayangnya, tak ada investor dalam negeri yang bersedia membiayai risetnya. Lembaga pemerintah juga tak meliriknya. Liang Shih Fan dan Ohio State University kemudian menawarkan bantuan. Di Amerika Serikat terbentuk perusahaan yang menang tender dari departemen energi setempat.

Di Indonesia, Warsito mengibarkan bendera dengan nama Ctech Labs (Center for Tomography Research Laboratory) Edwar Technology. Nama terakhir merupakan singkatan dari Edi dan Warsito. “Biar kelihatan keren,” kata Warsito, yang menjabat Ketua Umum Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia. Edi merupakan sahabatnya ketika sama-sama kuliah program doktor di Jepang. Di perusahaan ini, Edi mengurusi divisi pengembangan bisnis.

Huruf C pada Ctech Labs, kata Warsito, bermakna melihat. Namun, bisa juga dibaca dalam bahasa Indonesia sebagai “sitek atau sito”. Ini merupakan nama panggilan Warsito ketika masih kecil. Sampai saat ini, ibunya memanggilnya Sito. Usahanya mulai berkibar. Jumat pekan lalu, Warsito mendapatkan anugerah Ahmad Bakrie Award untuk kategori teknologi. Sejak tahun lalu, Warsito merekrut 20 mahasiswa strata satu untuk menyelesaikan skripsi atau tugas akhir. Ada yang mengembangkan tomografi untuk USG dan sensor untuk mengetahui kandungan migas. Salah seorang mahasiswa tersebut membantunya membuat Sona CT x001. “Saya beri target skripsinya masuk di jurnal internasional atau dapat paten,” ujarnya.

Tak sia-sia. Sona CT x001 kini sudah didaftarkan untuk mendapat paten di Indonesia. Upaya “mencetak” ilmuwan dan mengaplikasikan teknologi baru juga dilakukan Eko Fajar Nurprasetyo dan Eniya Lestiyani Dewi. Eko Fajar menyelesaikan program strata satu hingga tiga di Kyushu University, Jepang. Pada 2001, dia memperoleh gelar doktor di bidang ilmu komputer dengan disertasi “Research on Soft-Core Processors for Embedded System Design”. Kemudian dia bekerja sebagai peneliti di perusahaan Sony LSI, Jepang.

Kariernya melesat. Sejak 2004 sampai 2006, Eko Fajar terpilih menjadi Distinguished Senior Engineer di Sony Semiconductor. Think tank beranggotakan 40 karyawan ini bertugas merumuskan teknologi masa depan yang harus dikembangkan perusahaan.

Dari 40 anggota, hanya Eko yang bukan warga negara Jepang. Selain itu, dia yang paling muda—ketika itu berusia 33 tahun. Pada 2006, Eko Fajar keluar dari Sony dan kembali ke Tanah Air. Pilihan yang sulit. Maklum, fasilitas yang diberikan perusahaan sangat banyak sehingga dia memiliki apartemen. Selain itu, sang istri mempunyai usaha di Negeri Matahari Terbit. Tapi dia memilih tetap pulang. Dia ingin menjaga sang bunda, karena dua saudara kandungnya tinggal di luar negeri. Eko juga ingin mendidik anak-anaknya dengan lingkungan dan kultur Indonesia. Alasan lain adalah idealisme.

“Desain semikonduktor yang saya buat cuma dinikmati orang Jepang,” kata Eko Fajar. Di sisi lain, belum ada perusahaan Indonesia yang merancang semikonduktor. Yang ada, ujarnya, hanya membuat bungkus integrated circuit (IC) atau chip. Itulah sebabnya, pada 2006 dia mendirikan Versatile Silicon Technologies di Bandung.

Perusahaan ini merupakan IC design house pertama di Indonesia. Belasan chip sudah dihasilkan untuk pasar luar negeri, mulai chip bar code record hingga untuk mengontrol power alat cukur jenggot dan komputer. Ada 40 pegawai tetap di perusahaannya.

Selain itu, Versatile Silicon Technologies menerima mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang magang atau menyelesaikan tugas akhir. Pada 2008, dia bergabung dalam perusahaan Xirka untuk membuat chip proyek Wi- MAX Indonesia. Pekan lalu, chip itu diluncurkan menjadi satu-satunya di Asia Tenggara. Chip lokal ini bakal bersaing dengan chip buatan Prancis, Amerika, Jepang, dan Taiwan.

Adapun Eniya Lestiyani Dewi, yang lahir di Magelang pada 1974, kini terus menyempurnakan motor fuel cell. Perangkat energi ini mampu menghasilkan 500 watt listrik dan dapat membawa lari sebuah sepeda motor hingga 60 kilometer per jam. Bahan bakarnya cuma 28 liter hidrogen dari tabung berukuran 20 sentimeter dengan diameter 10 cm, yang memadatkan hidrogen hingga 740 liter.

Eniya adalah perekayasa pada Pusat Teknologi Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dia memimpin 40 ahli BPPT untuk proyek motor fuel cell. Pada 2003, dia masuk ke lembaga riset ini setelah 10 tahun kuliah di Departemen Kimia Terapan, Universitas Waseda, Jepang. Sebenarnya bisa saja dia menjadi pengusaha atau bekerja di perusahaan swasta. “Ketika itu BPPT membuat proyek fuel cell yang sesuai studi dan menarik perhatian saya,” kata penerima penghargaan The Japan Polymer Society 2009 dan ASEAN Outstanding Achievement Award 2006 ini.

Awalnya Eniya cuma mendapatkan dana Rp 80 juta untuk proyek tersebut. Proyek ini berhasil sehingga dana yang lebih besar mulai mengalir. Motor fuel cell yang menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar utamanya itu telah terkandung muatan lokal hingga 80 persen. Eniya berupaya mematenkannya. Namun, dia menilai pemerintah belum serius mengembangkan energi alternatif.

“Di Jepang, pemerintah memberikan subsidi bagi warga yang memakai energi ini,” katanya

sumber : tempointeaktif

Andrivo Rusydi : KOKI TEKNOLOGI NANO ASAL PADANG


Hari-hari Andrivo Rusydi menetap di negeri sendiri hanya bisa dihitung dengan jari. Pemuda 33 tahun ini mesti wira wiri antarbenua sepanjang tahun untuk menjalani riset-risetnya di bidang teknologi nano. Ia memang salah satu dari sedikit anak bangsa negeri ini yang menguasai teknologi pengontrol skala atom dan molekul itu. Sebuah keahlian yang—terutama—banyak dibutuhkan di negara maju.

Maka negeri-negeri semacam Singapura, Amerika Serikat, Jerman, dan Kanada membuka lebar-lebar pintu riset bagi urang awak ini. Mari kita lihat jejak-jejak kejeniusannya, yang sudah diakui dunia internasional, itu. Saat ini Andri adalah peneliti tetap dan pengajar mata kuliah nanotechnology dan nanoscience di Universitas National Singapura (NUS). Di universitas ini pula ia mendapatkan gelar profesor pada usia 31 tahun. Sejak awal tahun ini, dia diangkat menjadi anggota Singapore International Graduate Award atau supervisi para doktor lulusan NUS.

Lalu, di Jerman, suami Sulistyaningsih ini menjadi profesor tamu pada Center for Free Electron Laser dan Institute for Applied Physics of University of Hamburg. Di sini, selain mengajar, Andri membimbing mahasiswa diploma sampai doktoral.

Penjelajahannya yang intensif di ranah teknologi nano juga membuat sulung dari empat bersaudara ini juga menjadi peneliti tamu di Departemen Fisika Universitas Illinois di Urbana, Amerika Serikat, dan Universitas British Columbia, Kanada.

Jejak akademisnya memang terpacak hingga ke berbagai pelosok dunia. Tak hanya itu, teknik riset yang ia kembangkan kemudian dimanfaatkan di berbagai negara, antara lain Amerika Serikat, Prancis, Korea, Jepang, Australia, Jerman, Kanada, dan Taiwan.

Dengan reputasi akademik internasional semacam itu, Andri tak ingin terlena. Dia ingin berbakti kepada tanah airnya untuk memajukan dunia ilmu di negeri ini. Caranya lewat kerja sama penelitian dan beasiswa tingkat doktoral dari dana-dana penelitian yang diperolehnya.

“Indonesia kaya potensi sumber daya alam dan manusia. Di situlah tumpah darah saya,” kata Andri. Kejeniusan Andri di bidang teknologi nano mulai mencorong ketika ia merampungkan riset doktoralnya di Universitas Ryn, Groningen, Belanda.

Saat itu Andri dan timnya membangun teknik eksperimen baru yang dinamakan Resonant Soft X-Ray Scattering (RSXS) dengan menggunakan synchrotron. Yang disebut terakhir itu adalah tipe khusus akselerator partikel di mana medan magnet dan medan listrik bersatu.

Dengan teknik ini, kata Andri, untuk pertama kalinya fenomena seperti spin density waves, charge density waves, Wigner crystal, stripes, magnetic orderings, dan orbital orderings bisa langsung dideteksi.

Selama proses pembuatan teknik baru itu, Andri mesti berpindahpindah dari satu negara ke negara lain, termasuk European Synchrotron Radiation Facility (Prancis) dan National Synchrotron Light Source of Brookhaven National Laboratory (Amerika Serikat). Hampir lima tahun Andri menjadi peneliti di Brookhaven National Laboratory.

Hasil penelitian ilmiah itu lalu dipublikasikan di jurnal-jurnal teknologi internasional, seperti Science, Nature, Nature Physics, Physical Review Letter, dan Applied Physics Letter. Mulai saat itulah nama Andri berkibar kencang di dunia ilmu dan teknologi. Belakangan, teknik yang diciptakan Andri dan timnya digunakan di negara-negara yang mempunyai synchrotron.

Andri adalah anak sulung dari empat bersaudara. Mereka semua dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi tradisi pendidikan. Kakek dan neneknya adalah guru, begitu juga bapak dan ibunya. Bapaknya, Rusydi, MA, adalah dosen di Universitas Padang dan ibunya, Ulvy Mariati, SKp, MKes, adalah guru di Akademi Perawatan Padang.

Adik-adiknya idem dito: satu menjadi dosen di Universitas Airlangga, satu lagi di Universitas Andalas, dan yang bungsu merupakan staf peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

“Lingkungan dan keluarga jugalah yang akhirnya menentukan masa depan seorang anak. Itulah yang menyebabkan sejak kecil saya ingin menjadi pengajar dan peneliti,” kata Andri. Kini tampaknya ia meneruskan tradisi keluarganya tersebut.

Istrinya adalah seorang master hukum internasional lulusan Universitas Ryn, Belanda. Andri menghabiskan masa kecil hingga SMA di Kota Padang. Masa kecilnya seperti kebanyakan anak lain. Ia gemar berenang di sungai, juga mengaji—yang sampai sekarang masih rajin ia lakukan. Ketika masih kuliah S-1 di Institut Teknologi Bandung, ia sudah kerap melakukan penelitian bersama para mahasiswa S-3 bimbingan Profesor Tjia May On.

Sejak awal Andri sudah tahu, untuk menarik perhatian dunia, hasil riset mesti dipublikasikan di jurnaljurnal internasional, seperti Physics Review. Perkiraannya terbukti benar. Pemerintah Belanda kemudian menghadiahkan beasiswa penuh bagi Andri untuk menempuh jenjang S-2 di Groningen, Belanda.

Lulus master, ia beroleh beasiswa lagi untuk meraih gelar doktornya. Kali ini beasiswa datang dari pemerintah Belanda dan Amerika Serikat. “Menurut saya, output terpenting dalam penelitian adalah publikasi internasional,” kata Andri tentang keberuntungannya itu.

Setelah gelar doktor diraih, pada 2005 Andri terbang ke Hamburg, yang baru saja membangun fasilitas Vacuum Ultraviolet-Free Electron Laser (VUV-FEL). Ini adalah fasilitas riset yang pertama dan cuma ada satu di dunia. VUV FEL adalah synchrotron generasi baru. Di situ Andri terlibat dalam proyek penelitian berupa pengembangan teknik baru yang diberi nama VUV-FEL Raman Spectroscopy. Dana penelitian ini 3 juta euro.

Jadi, sementara RSXS mempelajari elastic excitations, VUV-FEL kebalikannya, yakni mempelajari inelastic excitations. “Kedua teknik ini saling melengkapi dan amat berguna untuk nanotechnology dan nanoscience,” kata Andri. Ketika tengah menyelesaikan penelitiannya di Hamburg itu pun ia mesti bolakbalik ke Amerika untuk menyelesaikan eksperimen RSXS, yang sedang dikembangkannya.

Prestasi akademik peneliti dengan disiplin ilmu fisika zat padat ini sebetulnya bukan cuma itu. Bersama tim riset di NUS, Andri berhasil membuat TiO2 (titanium dioxide), yang bersifat insulator-diamagnetic, menjadi half metallic ferromagnetic di atas suhu ruangan. Dengan temperatur tinggi, half-metallic ferromagnetic, menurut Andri, amat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, semisal untuk sistem spintronic. Temuan tersebut, selain dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional, telah dipatenkan di Amerika dan Eropa.

Saat ini Andri dan timnya di NUS tengah meneliti oxide electronics, yakni penelitian tentang zat-zat yang mengandung unsur oksigen sebagai pengganti teknologi silikon dan sumber energi baru. Di sini Andri dan timnya diberi keleluasaan mengembangkan penelitian. Dengan dana penelitian Sin$ 15 juta, selain mampu membangun perangkat peralatan penelitian baru, mereka boleh mengangkat postdoctoral, research fellow, PhD student, dan research assistant.

Untuk itu, Andri bekerja sama dengan para ilmuwan dari berbagai latar belakang bidang ilmu dan negara untuk bekerja dalam timnya. Suatu kolaborasi yang, kata Andri, telah memperluas cakrawala pola pikirnya. Ikatan kerja sama itu juga meliputi para peneliti dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, seperti Institut Teknologi Bandung (Dr A.A. Nugroho dan Profesor Tjia May On), Universitas Indonesia (Dr Muhammad Aziz Majidi), Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (Dr Darminto), dan Universitas Padjadjaran Bandung (kelompok Profesor Rustam Siregar dan Dr Fitrilawati).

Sedangkan dalam pencarian siswa berbakat, Andri bekerja sama dengan Profesor Yohannes Surya. “Saya ingin memanfaatkan peluang yang ada untuk memberi kesempatan generasi muda agar lebih maju daripada generasi sebelumnya,” kata dia. Andri melihat, di Indonesia banyak orang pintar tapi kecil daya juangnya. “Padahal faktor ketahanan mental ini penting. Juga dalam kerja tim.” Selain teknologi nano, Andri tertarik pada bidang penelitian lain, seperti semikonduktor organik, colossal magneto resistance, carbon related phenomena, carbon monotube, temperature superconductor, dan multiferroic. Untuk bidang-bidang penelitian ini, Andri juga berkolaborasi dengan ilmuwan di seluruh dunia.

Masa depan dan peluang tampaknya kian terbuka lebar bagi Andri. Ia masih akan terus menjelajahi sudut-sudut benua untuk memenuhi panggilan hidupnya: meneliti. Tetapi ia tetaplah putra Indonesia sejati. Dia tetap penggemar masakan acar kuning, sup buntut, dan sambal Bali masakan istri tercintanya. Namun, lebih dari itu, ia tetap yakin, dalam darahnya mengalir jiwa Merah-Putih. Tidak pernah terbersit dalam pikirannya untuk berganti kewarganegaraan. “Karena di sanalah tumpah darah saya.”

sumber : tempointreaktif