20 Agustus 2010

Sri Lanka Tanah Airku, Indonesia Darahku

Dia mantan pejabat tinggi militer Sri Lanka. Dia keturunan Madura, dan seorang muslim seperti kebanyakan keturunan Melayu di negeri yang selama empat dekade dibelah konflik berkepanjangan antara Tamil melawan mayoritas Shinala itu.

Meskipun dia generasi kesepuluh keturunan Madura di Sri Lanka, dia tetap mangaku bangga dan rindu pada Madura, pada Indonesia.

Dia adalah Brigadir Jendral (purn) Tuan Samayraan Buhary Sally.

Semasa menjadi perwira pertama angkatan bersenjata Sri Lanka—waktu itu Ceylon—dia pernah ditugaskan ke Singapura dan Malaysia pada 1947, sementara sewaktu menyandang pangkat terakhir brigadir jenderal, dia sempat mengemban fungsi kepala staf angkatan darat sementara Sri Lanka.

"Saya rindu Indonesia," kata Sally usai mengikuti apel HUT Kemerdekaan RI ke 65 di Kedutaan Besar RI di Colombo, Selasa.

Dua fasih berbahasa Indonesia, tidak seperti keturunan Melayu dan Madura yang diundang Kedubes RI di Colombo, Selasa, yang sudah tak lagi mengenal bahasa Melayu.

Sally bercerita bahwa nenek moyangnya menentang kekuasaan Belanda di Nusantara dahulu sehingga diasingkan ke negeri pulau di selatan India itu.

"Waktu itu ada istilah `disailankan," kenangnya.

"Disailankan" berarti dibuang ke Sailan atau Ceylon—Sri Lanka sekarang—karena memberontak atau menentang kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda.

Lain lagi cerita Tony Saldin, yang menjadi Presiden Sri Lanka Indonesia Frienship Association (SLIFA). Pria tampan berumur sekitar 60an ini mengaku dari generasi keenam keturunan Madura di Sri Lanka.

Dia mengaku terhanyut oleh hentakan penuh semangat lagu kebangsaan "Indonesia Raya."

"Sense of bravery (kesannya penuh bersemangat)," katanya.

Tidak seperti Sally, Tony relatif sering mengunjungi Indonesia, tetapi dia tidak sampai menyinggahi kampung halaman nenek moyangnya Madura.

"Saya hanya pergi ke Cirebon dan Jakarta," terang Tony dalam Bahasa Inggris dialek Sri Lanka.

Antusiasme dan ketertarikan pada Indonesia juga ditunjukkan DR. R.S. Drahaman, dokter spesialis bedah THT yang juga keturunan Madura.

Pria beranak dua beristrikan dokter gigi keturunan Melayu itu mengutarakan keingintahuannya untuk mengetahui lebih dalam Indonesia.

Ketika ANTARA menginformasikan kepadanya bahwa Madura dan Jawa kini dipersatukan jembatan terpanjang di Asia Tenggara (Jembatan Suramadu), Drahaman terhenyak.

"Oya? Saya sepertinya harus ke sana," katanya.

Ada keingintahuan dari mereka tentang Indonesia, tanah di mana nenek moyang mereka lahir dan dibesarkan.

Namun, dari antusiasme mereka mengikuti upacara 17 Agustus yang setiap tahun jarang sekali mereka lewatkan, warga Sri Lanka keturunan Indonesia tetap merasa dalam darahnya mengalir darah Indonesia.

"Ya, saya tidak memungkiri bahwa saya adalah keturunan Malay (Indonesia)," aku Sally.

Menurut statistik yang beredar di Sri Lanka, puluhan ribu keturunan Melayu (Indonesia) hidup di seantero Sri Lanka. Sementara warga Indonesia yang berada di negeri itu mencapai sekitar 200 orang.

Nuansa lain

Para diplomat Indonesia sendiri menangkap nuansa lain saat merayakan 17 Agustus di luar negeri, yang sering tidak mereka dapatkan ketika mereka merayakannya di dalam negeri.

"Kalau di Indonesia, saya jarang ikut lomba Agustusan, tapi di negeri orang kita malah selalu ingin mengikutinya," kata Rudy Kurniady, salah seorang dari empat orang diplomat muda yang ditempatkan di Sri Lanka.

Alumnus Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran ini kini menangani Colombo Plan, organisasi yang mempromosikan pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. Di organisasi ini Rudy menjabat "Seconded Officer."

Lain lagi pengakuan Suhardi Tjondrosentono, Minister Councelor Politik pada Kedubes Indonesia di Sri Lanka.

Diplomat karir ini pernah ditempatkan di empat negara termasuk Korea Utara, sebelum kemudian menempati pos Sri Lanka. Suhardi membenarkan merayakan 17 Agustus di luar negeri memang senantias mengesankannya.

"Lain tempat lain kesannya," kata Suhardi menunjuk lima negara di mana dia ditugaskan oleh Kementerian Luar Negeri, termasuk Sri Lanka yang sekarang menjadi tempatnya bertugas.

Energi magnetis seremoni HUT Kemerdekaan RI juga dirasakan Muhammad Tahang, staf lokal yang bekerja lebih dari 20 tahun untuk Kedubes RI di Colombo.

"Ya jelas berbeda, apalagi saya sudah tinggal lama di sini," kata pria Makassar ini.

Tahang memiliki istri seorang Sri Lanka yang telah memberinya dua orang putra, masing-masing Syaiful Shafi (18) yang sedang berkuliah Manajemen Bisnis, dan Tania Tahang yang tengah memasuki kelas 2 SMA.

sumber http://oase.kompas.com/read/2010/08/18/17212258/Sri.Lanka.Tanah.Airku..Indonesia.Darahku

Tidak ada komentar: