07 September 2009

Dr Warsito P. Taruno : AKU PULANG, AKU BERJUANG, AKU MENANG

Belasan tahun belajar di luar negeri. Tanpa bantuan pemerintah, penelitian mereka berhasil di Tanah Air.

Robot itu bernama Sona CT x001. Di sebuah jendela ruko di perumahan Modernland, Tangerang, robot yang dibekali dua lengan itu sedang memindai tabung gas sepanjang 2 meter. Di bagian atas robot, layar laptop menampilkan grafik hasil pemindaian. Selasa dua pekan lalu itu, Sona—buatan Ctech Labs (Center for Tomography Research Laboratory) Edwar Technology—sedang diuji coba. Alat ini sudah dipesan PT Citra Nusa Gemilang, pemasok tabung gas bagi bus Transjakarta. “Di dalam ruko tidak ada tempat lagi untuk menyimpan Sona dan udaranya panas,” kata Dr Warsito P. Taruno, pendiri dan pemilik Edwar Technology.

Sona harus berada di ruangan yang suhunya di bawah 40 derajat Celsius. Perusahaan migas Petronas, kata Warsito, tertarik kepada alat buatannya. Kini mereka masih dalam tahap negosiasi harga dengan perusahaan raksasa milik pemerintah Malaysia tersebut. Selain Sona, Edwar Technology mendapat pesanan dari Departemen Energi Amerika Serikat. Nilai pesanan lumayan besar, US$ 1 juta atau sekitar Rp 10 miliar.

Bahkan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pun memakai teknologi pemindai atau Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) temuan Warsito. Lembaga ini mengembangkan sistem pemindai komponen dielektrik seperti embun yang menempel di dinding luar pesawat ulang-alik yang terbuat dari bahan keramik. Zat seperti itu bisa mengakibatkan kerusakan parah pada saat peluncuran karena perubahan suhu dan tekanan tinggi.

ECVT adalah satu-satunya teknologi yang mampu melakukan pemindaian dari dalam dinding ke luar dinding seperti pada pesawat ulang-alik. Teknologi ECVT bermula dari tugas akhir Warsito ketika menjadi mahasiswa S-1 di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia, Universitas Shizuoka, Jepang, tahun 1991. Ketika itu pria kelahiran Solo pada 1967 ini ingin membuat teknologi yang mampu “melihat” tembus dinding reaktor yang terbuat dari baja atau obyek yang opaque (tak tembus cahaya). Dia lantas melakukan riset di Laboratorium of Molecular Transport di bawah bimbingan Profesor Shigeo Uchida.

Warsito mengakui teknologi yangkemudian disebut tomografi kedengarannya seperti dongeng fiksi ilmiah. “Tapi, karena tantangan itu riil, saya merasa terpacu menghadapinya secara riil juga,” katanya. Warsito kemudian meneruskan S-2 mengambil jurusan teknik kimia, berlanjut ke S-3 jurusan teknik elektronika di Universitas Shizuoka. Tesis dan disertasinya tetap mengenai teknologi tomografi.

Hounsfield dan Cormack memang yang pertama kali mengembangkan teknologi ini. Namun, basisnya sinar-X. Pada 1979, kedua ilmuwan ini mendapatkan Hadiah Nobel untuk Bidang Kedokteran. Temuan Warsito lebih canggih lagi karena basisnya dengan gelombang suara. Alhasil, tingkah laku zat cair, gas, dan padat di dalam reaktor tertutup yang tadinya tidak bisa dilihat dengan mata menjadi “kelihatan”. Teknologi ini, kata Warsito, boleh disebut tahap lanjut dari teknologi kelelawar, yang mampu “melihat dalam gelap” secara satu dimensi.

Profesor Liang Shih Fan dari Ohio State University, Amerika Serikat, mengajak Warsito mengikuti program pasca doktoral pada 1999. Dia menerima tawaran itu. Maklum, tidak ada lembaga di Jepang yang bersedia menampungnya. Situasi Indonesia yang ketika itu kacau-balau mempengaruhinya untuk tidak kembali ke Tanah Air.

Dia berhasil mengembangkan tomografi kapasitansi listrik berbasis medan listrik statis. Metode yang mengkombinasikan cara kerja otak manusia dan teori probabilitas ini dipatenkan di Amerika pada 2003. Paper yang menjelaskannya dimuat di jurnal Measurement Science and Technology.

Pada 2001, artikel ini menjadi paper yang paling banyak diakses di penerbitan online oleh Institute of Physics (London). Liang Shih Fan, ahli di bidang teknologi partikel, perminyakan, dan energi, kemudian menantangnya membuat teknologi “melihat tembus” ruang 4 dimensi. Hingga pertengahan 2003, Warsito tidak menemukan jawabannya.

Dia sempat frustrasi dan kembali ke Indonesia untuk memperpanjang visa. Keinginan mendidik anaknya di Tanah Air menjadi salah satu alasan dia tidak memperpanjang kontrak dengan Ohio State University. Namun, Warsito tetap melanjutkan risetnya dari sebuah ruko sewaan di Tangerang. Dia menjual mobil satu-satunya untuk membeli perlengkapan komputer dan Internet serta membuat warnet di lantai bawah ruko. Usaha yang dikelola istri dan adiknya ini untuk menutupi biaya operasional. Upayanya berhasil untuk “melihat tembus secara 4 dimensi”. Pada 2005, IEEE Sensors Journal memuat artikelnya berjudul “Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT)”. Sejak itu, teknologi ini menghiasi sesi plenary lecture di hampir seluruh konferensi ternama di dunia di bidang proses kimia, fluidisasi, mekanika fluida multifasa, energi, teknologi partikel, dan tomografi industri.

Di antaranya Kongres Dunia Tomografi Proses Industri, Aizu, Jepang (2005); Kongres Dunia Teknik Kimia dan Kongres Dunia Teknologi Partikel di Florida (2006); serta Pertemuan Tokoh 100 Tahun Ilmuwan Teknik Kimia yang Paling Berpengaruh di Abad ke-20 di Philadelphia (2008).

Aplikasi dari temuan Warsito sejatinya dapat diterapkan untuk sektor kesehatan (alat-alat kesehatan), geofisik, NDT (uji tanpa rusak), dan proses industri. Sayangnya, tak ada investor dalam negeri yang bersedia membiayai risetnya. Lembaga pemerintah juga tak meliriknya. Liang Shih Fan dan Ohio State University kemudian menawarkan bantuan. Di Amerika Serikat terbentuk perusahaan yang menang tender dari departemen energi setempat.

Di Indonesia, Warsito mengibarkan bendera dengan nama Ctech Labs (Center for Tomography Research Laboratory) Edwar Technology. Nama terakhir merupakan singkatan dari Edi dan Warsito. “Biar kelihatan keren,” kata Warsito, yang menjabat Ketua Umum Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia. Edi merupakan sahabatnya ketika sama-sama kuliah program doktor di Jepang. Di perusahaan ini, Edi mengurusi divisi pengembangan bisnis.

Huruf C pada Ctech Labs, kata Warsito, bermakna melihat. Namun, bisa juga dibaca dalam bahasa Indonesia sebagai “sitek atau sito”. Ini merupakan nama panggilan Warsito ketika masih kecil. Sampai saat ini, ibunya memanggilnya Sito. Usahanya mulai berkibar. Jumat pekan lalu, Warsito mendapatkan anugerah Ahmad Bakrie Award untuk kategori teknologi. Sejak tahun lalu, Warsito merekrut 20 mahasiswa strata satu untuk menyelesaikan skripsi atau tugas akhir. Ada yang mengembangkan tomografi untuk USG dan sensor untuk mengetahui kandungan migas. Salah seorang mahasiswa tersebut membantunya membuat Sona CT x001. “Saya beri target skripsinya masuk di jurnal internasional atau dapat paten,” ujarnya.

Tak sia-sia. Sona CT x001 kini sudah didaftarkan untuk mendapat paten di Indonesia. Upaya “mencetak” ilmuwan dan mengaplikasikan teknologi baru juga dilakukan Eko Fajar Nurprasetyo dan Eniya Lestiyani Dewi. Eko Fajar menyelesaikan program strata satu hingga tiga di Kyushu University, Jepang. Pada 2001, dia memperoleh gelar doktor di bidang ilmu komputer dengan disertasi “Research on Soft-Core Processors for Embedded System Design”. Kemudian dia bekerja sebagai peneliti di perusahaan Sony LSI, Jepang.

Kariernya melesat. Sejak 2004 sampai 2006, Eko Fajar terpilih menjadi Distinguished Senior Engineer di Sony Semiconductor. Think tank beranggotakan 40 karyawan ini bertugas merumuskan teknologi masa depan yang harus dikembangkan perusahaan.

Dari 40 anggota, hanya Eko yang bukan warga negara Jepang. Selain itu, dia yang paling muda—ketika itu berusia 33 tahun. Pada 2006, Eko Fajar keluar dari Sony dan kembali ke Tanah Air. Pilihan yang sulit. Maklum, fasilitas yang diberikan perusahaan sangat banyak sehingga dia memiliki apartemen. Selain itu, sang istri mempunyai usaha di Negeri Matahari Terbit. Tapi dia memilih tetap pulang. Dia ingin menjaga sang bunda, karena dua saudara kandungnya tinggal di luar negeri. Eko juga ingin mendidik anak-anaknya dengan lingkungan dan kultur Indonesia. Alasan lain adalah idealisme.

“Desain semikonduktor yang saya buat cuma dinikmati orang Jepang,” kata Eko Fajar. Di sisi lain, belum ada perusahaan Indonesia yang merancang semikonduktor. Yang ada, ujarnya, hanya membuat bungkus integrated circuit (IC) atau chip. Itulah sebabnya, pada 2006 dia mendirikan Versatile Silicon Technologies di Bandung.

Perusahaan ini merupakan IC design house pertama di Indonesia. Belasan chip sudah dihasilkan untuk pasar luar negeri, mulai chip bar code record hingga untuk mengontrol power alat cukur jenggot dan komputer. Ada 40 pegawai tetap di perusahaannya.

Selain itu, Versatile Silicon Technologies menerima mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang magang atau menyelesaikan tugas akhir. Pada 2008, dia bergabung dalam perusahaan Xirka untuk membuat chip proyek Wi- MAX Indonesia. Pekan lalu, chip itu diluncurkan menjadi satu-satunya di Asia Tenggara. Chip lokal ini bakal bersaing dengan chip buatan Prancis, Amerika, Jepang, dan Taiwan.

Adapun Eniya Lestiyani Dewi, yang lahir di Magelang pada 1974, kini terus menyempurnakan motor fuel cell. Perangkat energi ini mampu menghasilkan 500 watt listrik dan dapat membawa lari sebuah sepeda motor hingga 60 kilometer per jam. Bahan bakarnya cuma 28 liter hidrogen dari tabung berukuran 20 sentimeter dengan diameter 10 cm, yang memadatkan hidrogen hingga 740 liter.

Eniya adalah perekayasa pada Pusat Teknologi Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dia memimpin 40 ahli BPPT untuk proyek motor fuel cell. Pada 2003, dia masuk ke lembaga riset ini setelah 10 tahun kuliah di Departemen Kimia Terapan, Universitas Waseda, Jepang. Sebenarnya bisa saja dia menjadi pengusaha atau bekerja di perusahaan swasta. “Ketika itu BPPT membuat proyek fuel cell yang sesuai studi dan menarik perhatian saya,” kata penerima penghargaan The Japan Polymer Society 2009 dan ASEAN Outstanding Achievement Award 2006 ini.

Awalnya Eniya cuma mendapatkan dana Rp 80 juta untuk proyek tersebut. Proyek ini berhasil sehingga dana yang lebih besar mulai mengalir. Motor fuel cell yang menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar utamanya itu telah terkandung muatan lokal hingga 80 persen. Eniya berupaya mematenkannya. Namun, dia menilai pemerintah belum serius mengembangkan energi alternatif.

“Di Jepang, pemerintah memberikan subsidi bagi warga yang memakai energi ini,” katanya

sumber : tempointeaktif

Tidak ada komentar: