04 September 2009

Tiga Pilar Negara Kuat Menurut Nagara Krtagama

Sebagai bangsa yang besar, kita harus menghargai jasa para pendahulu kita. Seperti ada pepatah yang mengajarkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai menghargai jasa para pahlawan dan pendahulu kita.



Bangsa dan negara Indonesia tidak jadi begitu saja. Ratusan bahkan ribuan tahun lalu proses untuk menjadi bangsa sudah dimulai. Rekam jejak yang paling kentara adalah pada masa Kerajaan Majapahit. Saat itu Maha Patih Gajah Mada mengumandangkan sumpah Amuktya Palapa yang intinya adalah ia tidak akan menikmati kemewahan bila Nusantara belum bersatu.

Sumpah itu diperjuangkannya bersama Raja Hayam Wuruk yang memerintah Majapahit tahun 1350-1389. Alhasil di bawah mereka, daerah kekuasaan Majapahit di hampir seluruh Nusantara sampai ke Madagaskar bersatu. Masa keemasan kerajaan Hindu-Budha terakhir di Nusantara itu ditulis dalam Nagara Krtagama oleh Mpu Prapanca pada 1365 (1287 Saka).

Kini, naskah Nagara Krtagama berkembang dengan banyak versi. Diperkirakan naskah aslinya ikut hancur saat runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Beruntung kita memiliki Prof Dr Drs I Ketut Riana SU. Dosen di Universitas Udayanan ini berhasil menulis buku Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit, yang didasarkan pada naskah Nagara Krtagama tertua.

"Tujuan menuliskan ini mau melestarikan warisan leluhur yang merupakan karya dari pujangga Mpu Prapanca. Pujangga abad ke-14 ini menuliskan masa-masa keemasan Kerajaan Majapahit," kata Ketut saat peluncuran bukunya di Hotel Santika Premier Slipi Jakarta, Kamis (3/9).

Setelah membaca buku yang diterbitkan penerbit Kompas dengan tebal 483 halaman, ada penceritaan menarik yang dicatat oleh pria yang lahir di desa Les, Bali 10 Desember 1951. "Wahai rakyatku yang berbahagia, hendaknya disadari bahwa suatu kerajaan atau negara yang besar ibaratnya 'bagai hutan dan singa', 2 hal yang tak terpisahkan," kata Hayam Wuruk yang bergelar Sri Rajasa Nagara pada seluruh rakyatnya.

Kemudian, raja yang lahir tahun 1334 (1256 tahun Saka Rttusarena) itu mengutarakan, jika hutan kering dan gundul, maka singa akan mati karena kekurangan makanan. Bahkan akan kabur karena tak terlindungi. Dengan demikian, musuh akan dengan mudah memporakporandakan negara.

Hayam Wuruk mengatakan ini dalam kapasitasnya sebagai pemimpin nusantara. Pada zamannya ia dan Gajah Mada telah berkomitmen untuk mejaga keutuhan dan kesatuan negara. Supaya "hutannya" tetap terjaga maka ia memperkuat bala tentara.

Konon, Hayam Wuruk mempunyai armada lebih dari 2.000 untuk menjaga negaranya. Tidak hanya itu, pilar kekuatan negara yang lain adalah sektor ekonomi dan agama. Sebagai raja yang menguasai hampir seluruh nusantara sampai ke Kamboja, Vietnam dan Madagaskar di Afrika Timur, ia memiliki peluang korupsi yang besar. Karena setiap daerah taklukkan wajib membayar upeti.

Namun apa yang dilakukan suami dari Dyah Indudewi itu. "Dan keesokan harinya pagi-pagi Baginda Raja memberikan hadiah pada masyarakat semua, termasuk kawi atau pujangga juga diberikan hadiah. Semua rakyat gembira serta memuji-muji," tulis Mpu Prapanca, putra Mpu Nadendra yang menjabat Dharmadhyaksa ring Kasogatan (ketua dalam urusan agama Budha).

Maka tidak mengherankan, Hayam Wuruk diyakini sebagai titisan Siwa-Budha. Karenanya dalam tugasnya ia menentramkan dan menyejahterakan rakyat dan kerajaan Majapahit. Mpu Prapanca meyakini hal itu karena apa yang ia tulis berdasarkan pengalamannya ikut Hayam Wuruk berkunjung ke desa-desa.

Pilar terakhir yang menopang negara Majapahit adalah agama. Ketut yang doktoralnya di Universitas Airlangga mengutarakan bahwa pada waktu itu agama menjadi perhatian utama, baik yang Hindu maupun Budha. "Oleh karenanya kompleks tempat ibadah bebas pajak sama sekali.

Hayam Wuruk meyakini agama menjadi hal penting dalam kemajuan suatu negara," Ketut menandaskan. Singkatnya, menurut Hayam Wuruk dan tentutnya Gajah Mada, negara atau "hutan" akan kuat jika memiliki 3 pilar yang kokoh, yakni unsur politik-keamanan, kemakmuran dan hidup agama yang kuat. "Itulah artinya Nagara Krtagama. Nagara adalah negara politis, Kerta artinya makmur, dan Gama adalah agama," jelas Ketut.

Cermin Indonesia

Seperti telah dikatakan di awal, kalau mau disebut negara besar maka mau tidak mau kita mesti bercermin dari pengalaman Hayam Wuruk memerintah negara Majapahit. Juga soal bagaimana ia melihat sebuah kekuasaan sebagai sarana untuk menyejahterakan rakyatnya.

Apalagi saat ini Nagara Krtagama sudah diakui oleh UNESCO sebagai karya warisan dunia. Artinya, semua bangsa bisa merasa memiliki teks itu untuk dipelajari. Jangan sampai kita yang punya malah tidak mau belajar. Kalau kita melihat negara kita seperti hutan yang dijaga oleh harimau, tampaknya hutan kita ini sudah bobol.

Lemahnya kekuatan militer membuat beberapa kali perbatasan kita dilanggar negara lain, sumber daya alam di hutan dan laut dicuri. Bidang budayapun kita kecolongan oleh tetangga kita yang beberapa kali mengklain produk bidaya kita. Bidang ekonomi, kita masih kewalahan menahan terjangan arus kapitalis.

"Wilayah-wilayah keagamaan zaman Hayam Wuruk bebas pajak. Sekarang pajak meningkat terus. Belum hubungan antaragama satu sama lain yang kerap bentrok," ucap Ketut.

Dalam situasi ini, tepat kiranya Mpu Prapanca berujar bahwa hutan tanpa binatang seperti negara tanpa prajurit, sehingga mudah diserang. Tanpa adanya singa maka orang enak saja membabat hutan, mencuri kayu dan heman. "Jadi ingat, jangan membabat hutan karena akan menuai bencana," ucap Hayam Wuruk pada rakyatnya.

Bencana di sini bisa bermakna denotatif maupun konotatif, di mana kemiskinan dan pengangguran juga masuk kategori bencana. Sejarah masa lampau ternyata menyimpan nilai filosofi yang dalam. Tulisan Mpu Tantular di atas lontar yang berusia ratusan tahun masih relevan menggugah bagaimana liarnya kita menggregoti kekuatan kita sendiri.

Seliar kita hendak menghancurkan situs Trowulan di mana pusat Majapahit, pusat nilai kesatuan nusantara, embrio Pancasila berada di sana.

SUMBER : KOMPAS

Tidak ada komentar: