07 September 2009

FAUZY AMMARI : JEJAK ORANG TERNATE DI JALAN SUTRA

Sudah hampir 10 bulan Fauzy Ammari bergelut di Jalan Sutra. Di jalur utama perdagangan dunia yang menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika 3.000 tahun silam itulah, karier emas Fauzy kini dipertaruhkan. Lelaki kelahiran Ternate, Maluku Utara, 42 tahun silam ini dipercaya menjadi salah seorang konsultan dalam proyek pembangunan jalan di salah satu bagian rute kuno itu di wilayah Uzbekistan.

Proyek prestisius yang dinamakan Proyek Jalan Sutra atawa Silk Road ini membentang 131 kilometer sepanjang rute Guzar-Bukhara- Nukus-Dautata. Pemerintah Presiden Islam Karimov mengucurkan sedikitnya US$ 270 juta atau Rp 2,7 triliun, yang dipinjamnya dari Bank Pembangunan Asia.

Dalam proyek tersebut, Fauzy duduk sebagai penasihat internasional untuk bidang infrastruktur transportasi. Tanggung jawabnya menangani proyek-proyek fasilitas umum dan penyediaan alat-alat berat. Tak tanggung-tanggung, ia pun diminta membentuk departemen transportasi, departemen baru di Uzbekistan.

“Bisnis jalan” sesungguhnya tak jauh-jauh dari awal karier Fauzi. Ketika masih duduk di bangku SMP di Ternate, ia sudah diperkenalkan dengan manajemen bisnis transportasi. Saat itu ia bahkan dipercaya mengelola sebuah mobil angkutan kota milik keluarganya.

Segala tetek-bengek bisnis angkutan menjadi tanggung jawabnya. Mulai teknik mencari penumpang, melayani penumpang, sampai merawat si angkot semata wayang, yang dilakoninya hingga tamat SMA.

Berpuluh tahun kemudian, ribuan mil dari tanah kelahirannya, Fauzy merasakan manfaat dari pendidikan manajemen bisnisnya itu. Mengatur strategi pemenangan proyek, mengelola tim kerja, hingga mengatur rencana kerja seolah hanya mengulang pekerjaan masa kecilnya.

Bedanya, dulu ia hanya mengurus satu mobil, kini ia bertanggung jawab membangun salah satu ruas jalan di Uzbekistan. Jiwa bisnis Fauzy mulai terasah manakala sang ayah, seorang penjual pakaian dan sepatu, mangkat. Saat itu usia Fauzy baru delapan tahun.

Mengerjakan PR dan bergaul sering kali ia lakoni sembari menjaga toko keluarga. Selepas SMA, ia melanjutkan pendidikan di dua universitas sekaligus di Makassar: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin serta Fakultas Teknik Sipil Universitas Muslim Indonesia.

Sempat kedua almamaternya menawarinya posisi sebagai dosen tetap, namun ia tolak. “Saya ingin sekali merasakan tantangan nyata dalam dunia pekerjaan dan bisa merasakan suasana berbeda,” ucap ayah lima anak ini. Fauzy lalu diterima bekerja di Kumagai Gumi Group, perusahaan konstruksi yang menangani proyek dam milik pemerintah di Bili-bili, Sulawesi Selatan.

Jalan kian terbentang buatnya setelah pada Februari 1994 ia berlabuh di Jepang. Kedatangannya ke Negeri Matahari Terbit itu untuk memenuhi undangan pelatihan selama setahun dari Kamar Dagang dan Industri di Toyama Prefecture. Kesempatan itu tak disia-siakannya. Ia bahkan memutuskan tinggal lebih lama sambil melanjutkan pendidikannya.

Setelah berhasil merengkuh gelar master dari Gifu University, Fauzy melanjutkan program doktor di bidang teknik sipil dari universitas yang sama pada 2001. Pada tahun itu pula, ia bergabung dengan Dainichi Consultant, konsultan lokal di sana.

Menjadi konsultan rupanya jawaban atas obsesinya selepas kuliah di Makassar. Itu sebabnya, ia betah berkutat di Dainichi. Selama lebih dari tujuh tahun ia diserahi kewenangan menangani berbagai proyek infrastruktur transportasi. Dari Pakistan hingga Bhutan. Dari Maladewa sampai ke Cina.

Rajin menebar jaring dan banyak berkonsultasi dengan para senior merupakan resep sukses Fauzy menggaet proyek. Perburuan tender proyek lewat Internet pun rajin dilakoninya. Semakin banyak pesaing, ia semakin bergairah.

Tentu saja tak semua proyek yang disasar berhasil digaetnya. Salah satu kendalanya, informasi mengenai negara yang dibidik sangat minim. Ada kalanya proyek yang digarap pun tertunda atau bahkan dibatalkan sepihak oleh klien. Tak jarang pula ada ekspatriat atau konsultan yang kabur ketika proyek akan berjalan.

Di tengah pasang-surut itulah, jejak karier Fauzy terus melaju. Proyek yang digarapnya seakan tak pernah putus. Mulai proyek skala mungil senilai 12 ribu dolar, hingga order ratusan juta dolar seperti di Uzbekistan itu.

Dengan segudang kesibukan itu, mau tak mau ia melompat dari satu negara ke negara lain. Ia pun harus rela tinggal di Jepang berpisah dengan keluarganya di Tanah Air.

Tapi tekadnya sudah bulat. Ia belum akan pulang ke negeri kelahirannya. Salah satu obsesinya kini, yaitu mencari sumber-sumber pendanaan untuk program pengembangan tenaga kerja Indonesia di Jepang, yang bergelut di bisnis skala kecil-menengah yang berbasis teknologi. “Saya ingin membantu mereka menyiapkan diri dengan rencana bisnis yang matang sebelum kembali ke Tanah Air,” ujarnya.

sumber : tempointeraktif

Tidak ada komentar: