30 September 2009

Di Sini, Kita Bukan Serumpun

Si vis pacem, para bellum, jika ingin damai bersiaplah untuk berperang. Buat tim Piala Thomas Indonesia, jika tidak ingin dipermalukan, bersiaplah untuk berperang.

Malaysia akan menjadi tuan rumah putaran final Piala Thomas di Putra Stadium, Bukit Jalil, Mei 2010. Malaysia merupakan juara lima kali Piala Thomas sejak mulai dipertandingkan pada 1949. Terakhir kali mereka menjadi juara saat bertanding di Stadium negara, Kuala Lumpur pada 1992. Tujuh belas tahun bukan waktu yang singkat, tidak heran kalau mereka berhasrat besar untuk menjadi juara tahun depan.

Di final Piala Thomas 1992 tersebut, Malaysia mengalahkan tim Piala Thomas Indonesia 3-2. Pertandingan final tersebut ditandai dengan teror yang dilakukan terhadap tim Piala Thomas mau pun para pendukung asal Indonesia. Teror yang dilakukan baik oleh para penonton dan -terutama- oleh para anggota polisi Malaysia.

Tunggal putera Indonesia, Hermawan Susanto mengenang perlakuan buruk yang diterima tim Piala Thomas Indonesia tersebut. "Dari saat-saat latihan kami merasakan tekanan tersebut. Saat tengah berlatih, lampu tiba-tiba padam, sehingga terkadang kami harus mencari tempat latihan sendiri," kata Aim, panggilan Hermawan.

Hal seruipa juga dirasakan pemain tunggal Alan Budi Kusuma. "Perlakuan berbeda sudah dirasakan sejak kami keluar hotel. Terkadang kami harus menunggu bus jemputan lama sekali. Begitu muncul yang datang bus penjara. Istilah ini mereka berikan sendiri, karena busnya tanpa AC dan memiliki jeruji besi," kata Alan.

Di saat malam final, teror makin meningkat. Para penonton tuan rumah mengusung poster-poster bertuliskan,"Garuda Falls...", sementara para pendukung tim Indonesia yang mayoritas tenaga kerja Indonesia ditempatkan di sudut yang jauh dari timnas Indonesia. "Suara mereka terdengar sayupo-sayup," kata Hermawan.

Menurut hermawan, para pemain sempat terganggu dengan kondisi yang dirasakan para penonton Indonesia. "Kami kasihan juga melihat para pendukung didorong-dorong polisi Malaysia. Kalau mereka dianggap berteriak terlalu keras dan mengganggu, mereka diseret keluar stadion dan digebuki," kata Aim lagi.

Malaysia akhirnya menjadi juara dengan mengalahkan Indonesia 3-2 dengan kunci kekalahan terjadi saat Alan Budi Kusuma dikalahkan Foo Kok Keong. Padahal di atas kertas Alan menang segalanya dari Kok keong. Kekalahan yang menyebabkan manajer tim Indonesia Rudy Hartono marah besar dan menendang botol minuman mineral. "Saya tidak ingin menyalahkan siapa pun. Nyatanya saat itu saya merasa angin memang mengganggu, tapi semua itu memang kesalahan saya," kata Alan, 17 tahun setelah kekalahan tersebut.

Namun hal serupa juga dilakukan para penonton Indonesia apabila menjadi tuan rumah Piala Thomas. Saat Piala Thomas 1994, tim Malaysia melancarkan protes dan menganggap penonton istora Senayan mengganggu para pemain mereka saat jumpa Indonesia di babak final. Tunggal putera Ong Ewe Hock yang tampil di partai tunggal melakukan protes dnegan caranya sendiri dengan membuang-buang bola. Protes malaysia ditolak dan tim Indonesia menang 3-0.

Saat putaran final Piala Thomas dan Uber kembali dilangsungkan di Jakarta pada 2008 lalu, kondisi sudah semakin buruk. Para penonton istora Senayan menghujat para pemain Malaysia, tidak peduli siapa pun lawan yang mereka hadapi.

Di istora Senayan, rasa antipati itu jelas terlihat. Setiapkali tim Malaysia -baik Thomas mau pun Uber- tampil, penonton akan mendukung lawan-lawan mereka. Dukungan bukan hanya dengan tepuk tangan dan sorakan setiapkali bola pasukan Malaysia mati, namun juga dengan cercaan. Para penonton kadang berteriak "maling pulang...maling pulang ..." setiapkali putera-puteri Malaysia tengah berjuang. Sebagian lagi mengejek dengan menyanyikan lagu "rasa Sayange" dengan lirik yang diubah-ubah dengan masih berbau "maling-maling" tadi.

Kubu Malaysia bukannya tidak mendapat dukungan. Puluhan warga dan mahasiswa Malaysia di Indonesia memberi dukungan setiapkali para pemian negaranya bertanding. Mereka mengenakan seragam kuning yang merupakan warna tim-tim olahraga Malaysia. Sementara di belakang mereka terpampang spanduk besar bertuliskan,"Selamat berjuang, wira-wira negara."

Hasilnya tragis, kedua negara gagal di semifinal. Malaysia disingkirkan China di babak semifinal, sementara tuan rumah Indonesia tidak berdaya menghadapi Korea Selatan.

Suasana panas para penonton saat putaran final Piala Thomas 2008 dan (mungkin) 2010 mendatang tidak lepas dari memanasnya hubungan kedua negara beberapa tahun belakangan. Isu -isu politik seperti pemulangan dan penyiksaan TKI, kasus Sipadan-Ligatan, kasus Ambalat, kasus diklaimnya Reog Ponorogo, batik dan kasus terakhir diklaimnya tari pendet membuat sentimen anti-Malaysia memang meningkat.

Tragedi Scheele
Politik konfrontasi yang dikobarkan pada 1963 dipercaya menjadi pemicu persaingan kedua bangsa. Presiden RI saat itu, Ir Soekarno menyatakan tidak setuju terhadap gagasan Perdana menteri Malaya Tunku Abdul Rahman Putera yang ingin mendirikan negara federasi Malaysia. Presiden Soekarno menganggap negara federasi Malaysia hanya menjadi boneka untuk kepentingan Inggris yang ingin menguasai Asia Tenggara.

Konfrontasi menentang pembantukan negara Malaysia berlangusng antara 1963 hingga akhir 1966. Pada kurun 3 tahun tersebut dikembangkan semangat anti pembentukan negara tersebut yang dikenal dengan nama Komando Ganjang (Ganyang) Malaysia. Masa tiga tahun tersebut adalah masa yang penuh propaganda tentang kebusukan negara Malaysia dan terutama pemimpin besar mereka, Tunku Abdul rahman Putera. sebagai gambaran, situasinya lebih gencar daripada penggambaran Malaysia sebagai negara maling kebudayaan seperti yang saat ini terjadi.

Panasnya persaingan Indonesia-Malaysia di arena Piala Thomas mulai dirasa saat perebutan Piala Thomas 1967. Saat itu Indonesia yang merupakan juara bertahan setelah merebutnya di Tokyo pada 1964 bertindak sebagai tuan rumah. Meski kepemimpinan nasional saat ityu sudah berganti, sikap antipati terhadap hal-hal berbau Malaysia masih sangat kental. Di istora Senayan Jakarta, tim Piala Thomas Malaysia yang terdiri dari Tan Aik Huang dkk seperti menghadapi hantu-hantu neraka.

Sebenarnya tim Indonesia sendiri sudah merasa pesimistis untuk menang. Sebelum final menghadapi Malaysia, Pejabat Presiden Jenderal Soeharto bertanya kepada ketua umum PBSI, Padmosoemasto soal peluang Indoensia. "Tampaknya kita sulit menang Pak," kata Padmosoemasto. "Kalau begitu saya tidak akan datang," jawab Soeharto.

Tim Indonesia saat itu memang sangat meragukan. Jenjang antara yang tua dan muda masih terlalu jauh. Para pemain senior seperti Ferry Sonneville dianggap sudah melampaui masa jayanya, namun masih dibutuhkan karena pengalamannya. Sementara pemain-pemain muda seperti Rudy Hartono (Rudy Nio Hap Liang) dan Mulyadi (Ang Tjin Siang) dianggap masih terlalu hijau untuk turnamen sebesar ini.

Benar saja, di hari kedua, tim Indonesia tertinggal 3-4 dengan ganda mereka Ng Boon Bee/Tan Jee Khan di ambang kemenangan atas pasangan Indonesia, Agus Susanto/Muljadi.

Namun para penonton melihat celah harapan melihat ganda Malaysia tiba-tiba kehilangan konsentrasi. Mereka meneror Boon Bee/Jee Khan dengan teriakan-teriakan bernada mengejak bahkan anti Malaysia. Lengkap dengan jargon-jargon anti Malaysia yang merupakan warisan masa konfrontasi 1963-1966. Hasilnya mujarab. Muljadi/Agus Susanto mampu memaksakan permainan rubber-game setelah tertinggal 4-13 di game kedua.

Namun game ketiga tidak pernah dimainkan. Kebrutalan penonton Senayan membuat marah wasit kehormatan IBF, Herbert Scheele. Ia meminta ketua umum PBSI, Padmosoemasto untuk menenangkan penonton, namun permintaannya ditolak. Scheele yang berasal dari Inggris ini lalu menghentikan pertandingan dan hasilnya kita semua tahu, Indonesia kehilangan Piala Thomas setelah dinyatakan kalah 3-6.

Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah "tragedi Scheele." Media massa pada saat itu yang masih bersemangat revolusioner menggunakan istilah-istilah yang membakar kebencian masyarakat. Terlihat seperti dalam tulsian, "Scheele memperlihatkan kesombongan bangsawan Inggris di depan penonton istora. Ia bertolak pinggang dan melambaikan tangannya untuk menaggil seorang pejabat kita, ketua umum PBSI Padmosoemasto."

Lengkaplah kebencian masyarakat bulu tangkis kita kepada Malaysia. Peristiwa Scheele dan situasi 1967 ini kemudian menimbulkan luka dalam hubungan kedua negara di arena Piala Thomas yang tidak tuntas hingga saat ini.

sumber : kompas

Tidak ada komentar: