07 September 2009

MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN : MERAH-PUTIH DI SAINT LOUIS

Matahari setengah rebah di Medari, Sleman, Yogyakarta. Asar sudah datang. Zakaria bergegas mencari anaknya, Muhammad Arief Budiman. Dia bisa berada di mana saja: di sawah, di kebun salak pondoh, atau—jika sedang beruntung—ia akan ditemukan di sekitar rumah. Zakaria harus menemukannya sebelum matahari terlalu rebah, agar anaknya tak melewatkan salat asar dan mengaji di musala.

Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat. Tiga puluh tahun kemudian....

Di sebuah ruang kerja di kompleks Orion Genomic, salah satu perusahaan riset bioteknologi terkemuka di negeri itu, seorang lelaki Jawa berwajah "dagadu"—sebab senyum tak pernah lepas dari bibirnya—kerap terlihat sedang salat. Dialah anak Zakaria itu. Pada mulanya bercita-cita menjadi pilot, lalu ingin jadi dokter karena harus berkacamata sewaktu SMP, anak pekerja pabrik tekstil GKBI itu sekarang menjadi motor riset utama di Orion. Jabatannya: Kepala Library Technologies Group. Menurut BusinessWeek, ia merupakan satu dari enam eksekutif kunci perusahaan genetika itu.

Genetika adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari gen, pembawa sifat pada makhluk hidup. Peran ilmu ini bakal makin sentral di masa depan: dalam peperangan melawan penyakit, rehabilitasi lingkungan, hingga menjawab kebutuhan pangan dunia.

Arief tak hanya terpandang di perusahaannya. Namanya juga moncer di antara sejawatnya di negara yang menjadi pusat pengembangan ilmu tersebut: menjadi anggota American Society for Plant Biologists dan—ini lebih bergengsi baginya karena ia ahli genetika tanaman—American Association for Cancer Research.

Asosiasi peneliti kanker bukan perkumpulan ilmuwan biasa. Dokter bertitel PhD pun belum tentu bisa "membeli" kartu anggota asosiasi ini. Agar seseorang bisa menjadi anggota asosiasi ini, ia harus aktif meneliti penyakit kanker pada manusia. Ia juga harus membawa surat rekomendasi dari profesor yang lebih dulu aktif dalam riset itu serta tahu persis riset dan kontribusi orang itu di bidang kanker. Arief mendapatkan kartu itu karena, "Meskipun latar belakang saya adalah peneliti genome tanaman, saya banyak melakukan riset genetika mengenai kanker manusia," ujarnya.

Kita pun seperti melihat sepenggal kecil sejarah Indonesia yang sedang diputar ulang. Pada akhir 1955, ahli genetika (dulu pemuliaan) tanaman kelahiran Jawa yang malang-melintang di Eropa dan Amerika, Joe Hin Tjio, dicatat dengan tinta emas dalam sejarah genetika karena temuannya tentang genetika manusia. Ia menemukan bahwa kromosom manusia berjumlah 46 buah—bukan 48 seperti keyakinan ahli genetika manusia di masa itu ("The Chromosome Number of Man. Jurnal Hereditas vol. 42: halaman 1-6, 1956). Tjio—lahir pada 1916, wafat pada 2001—bisa menghitung kromosom itu dengan tepat setelah ia menyempurnakan teknik pemisahan kromosom manusia pada preparat gelas yang dikembangkan Dr T.C. Hsu di Texas University, Amerika Serikat.

Bagaimana dengan Arief? Sembilan tahun di Orion Genetics, bekas kasir toko kelontong di Islamic Center di Bryan College Station, Texas, itu sudah membuat delapan teknologi untuk menangani sel kanker manusia: satu sudah diganjar paten, tujuh sedang menunggu persetujuan dari kantor paten Amerika. Temuan pertama yang sudah dipatenkan adalah alat untuk menemukan biomarka (penanda molekuler) pada penyakit kanker. Bentuknya serupa chip.

Untuk menciptakan chip pengendus kanker itu, "Kami mengembangkan metodenya sejak lima tahun lalu," ujar bekas guru Al-Huda Islamic School di College Station, Texas, itu. Tujuh temuan lainnya yang sudah dimasukkan ke kantor paten untuk mendapat pengesahan masih berhubungan dengan teknologi pemindai kanker. Masing-masing pemindai gen untuk kanker payudara, kanker ovarian, kanker hati, kanker kolon, kanker paru-paru, kanker melanoma, kanker kandung kemih, kanker ginjal, dan kanker endometrial.

"Kami mem-filling tujuh paten itu dari penelitian selama tiga tahun," kata Arief. Daya endus alat-alat itu terhadap sel kanker bisa diandalkan. Sekadar contoh, pengendus kanker payudaranya memiliki sensitivitas di atas 90 persen. Dengan akurasi setajam itu, kalangan kedokteran menilai, temuan-temuan tersebut akan merupakan arsenal penting dalam peperangan melawan kanker--penyakit pembunuh nomor wahid di dunia.

Soalnya, kebanyakan kanker hanya terdeteksi setelah tak bisa lagi diobati. Nah, alat-alat ini mendeteksi adanya sel sel kanker itu saat masih "kuncup" sehingga peluang dibabat habis lebih besar. Caranya pun mudah dan tidak invasif, cukup mengendus keberadaan gugus metil, sebuah persenyawaan kimia antara karbon dan hidrogen. Ini karena, "Gen-gen pada pasien kanker biasanya memiliki gugus metilasi," ujarnya.

Sebelumnya, Arief mengembangkan teknologi untuk mengaplikasikan gugus metil pada pembacaan gen tanaman. Namanya penapis metil (methyl filtration). Penyaring metil ini berfungsi menapis DNA sampah di dalam gen sebuah tanaman, yang jumlahnya sekitar 50 persen dari seluruh gen dalam tanaman itu, dengan mendeteksi gugus metilnya.

"Jadi kita tidak perlu lagi membaca semua sekuen genome dalam tanaman yang butuh waktu lama dan biaya besar seperti yang dilakukan pada proyek genom padi dengan BAC-nya," kata anak kedua dari tiga bersaudara ini.

BAC (bacterial artificial chromosome), yang menjadi bahan desertasinya di Texas A&M Technology, adalah tonggak pertama dia dalam bidang genetika di Amerika. Berkat daya gunanya, BAC kemudian menjadi mesin utama dalam proyek megajuta dolar bertajuk "International Rice Genome Sequencing Project". Proyek untuk mengurai genom padi yang dipimpin Jepang ini mengerjasamakan laboratorium genom di Amerika, Cina, Prancis, Taiwan, India, Thailand, Korea, Brasil, dan Inggris.

Toh, suami Rita Syamsuddin, sarjana Jurusan Tafsir dan Hadis IAIN Syarif Hidayatullah dan Sastra Arab Universitas Indonesia, itu tak ingin selamanya menaikkan bendera Merah-Putih di negeri orang. Ia mengaku akan pulang pada suatu hari nanti. Saat ini masih ada keinginan yang belum kesampaian: membawa riset tentang markamarka pembeda sel kanker dan sel sehat ke tahap implementasi. Setelah itu, ia bisa pulang.

sumber : tempointreaktif

Tidak ada komentar: